Pratikno (Menteri Sekretaris Negara RI) Akademisi di Belakang Presiden
By Benny Kumbang (Editor) - 08 April 2016 | telah dibaca 5316 kali
Pratikno (Menteri Sekretaris Negara RI) Akademisi di Belakang Presiden
Naskah: Sahrudi, Foto: Dok. Humas Kemensetneg/Pribadi
Persepsi tentang Kementerian Sekretariat Negara yang kaku dan eksklusif langsung hilang tatkala kami memasuki gedung kementerian ini. Aparat keamanan dan staf protokoler yang ramah langsung menyambut kami dengan antusias.
Memasuki lobi kantor kementerian ini, kami mendapati koleksi lukisan yang indah yang mencerminkan keramahan penghargaan terhadap karya seni dan budaya. Lukisan-lukisan tersebut memang baru dipasang dalam beberapa bulan terakhir ini. Setelah kami menunggu beberapa saat, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, menyambut kami dengan hangat. Seperti Jokowi, sosok Pratikno adalah pemimpin yang selalu egaliter, dan tidak berjarak dengan siapapun dimanapun berada. Saat kami mewawancarai di kantornya yang satu komplek dengan Istana Kepresidenan ini, ia tampak bersahaja dan apa adanya. Men’s Obsession yang sudah berada di ruang tunggu dihampirinya dan ia duduk di tempat yang sama dengan kami, meski disitu ada tempat duduk khusus buat sang menteri jika menerima tamu.
Dalam wawancara tersebut ia begitu lepas dan mau bercerita banyak hal. Tak jarang sesekali diselingi cerita-cerita lucu yang dialaminya. Bahkan usai wawancara, mantan Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengajak seluruh kru yang ikut dalam wawancara untuk makan siang bersama di ruangannya. Tak perlu lama, nasi, soto, sate dan lauk lainnya plus buah jambu batu yang menjadi kegemaran sang menteri ini pun ludes disantap.
Banyak cerita ia beberkan dalam wawancara eksklusif ini. Mulai dari perjuangan beratnya semasa Sekolah Dasar hingga menjadi dosen, tentang masa-masa dimana dia merasa seperti ‘Alien’ --sebuah perumpamaan ketika ia merasa berbeda dari orang lainnya sekampung--, hingga berbagai cerita-cerita unik menjelang dilantik sebagai menteri. Salah satunya, ia sekeluarga mengaku kaget ketika pergi harus dikawal oleh voorijder. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana ia, sebagai seorang yang sejatinya adalah akademisi, harus berada dalam lingkaran istana dan mengatur segala tata kelola dan protokoler kepresidenan. Dan, ia menjalani semua itu dengan apa adanya namun serius meski untuk itu ia mengaku dalam bekerja tidak mengenal waktu. “Banyak rekan ingin ketemu saya tapi kesulitan, lalu bertanya kepada saya, jadwalnya padat ya? Saya jawab, bukan hanya padat, tapi saya memang tidak punya jadwal,” ia tertawa. Tekadnya satu, ia harus all out membantu presiden untuk menyelesaikan apa yang diistilahkannya sebagai “kegelisahan lama”. Misalnya soal penyelesaian proses perizinan yang harus singkat dan persoalan-persoalan lainnya. Semua itu diuraikan dalam tulisan cover story ini.
The Untold Story Sang Menteri
Jalan hidup seseorang adalah rahasia Tuhan. Tak ada yang bisa memastikan, siapa menjadi apa. Sekalipun cita-cita sudah terpatri dan peluang terbuka begitu menanti, namun belum tentu itu merupakan jalan yang harus dilewati.
Seperti itulah cerita hidup seorang Pratikno. Cerita hidup yang unik dan menarik bahkan kadang-kadang miris, adalah episode demi episode yang kemudian mengantarkannya menjadi seorang menteri. Kisah itu sempat ia ceritakan kepada putrinya yang ingin menulis tentang dirinya untuk tugas sekolah. Tapi karena saking sedihnya cerita yang dipaparkan Pratikno, sampai-sampai anaknyapun sempat tidak percaya. “Anak saya tidak percaya, saya dibilang bohong, haha..padahal ini sungguh cerita asli, tidak pernah saya cerita ke orang lain selain anak saya dan dalam wawancara ini,” ujar suami dari Siti Faridah ini sembari masih menyisakan senyumnya.
Lahir di Desa Dolokgede, Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, 13 Februari 1962, Pratikno merupakan putra dari pasangan orang tua yang dua-duanya berprofesi sebagai guru. Tapi sayangnya, kondisi pendidikan saat ia duduk di bangku SD sungguh memprihatinkan. Saat Pratikno pertama kali belajar, ruang kelasnya harus bergantian. Minimnya ruang kelas membuat sekolah tak punya tempat untuk menampung buku bacaan yang merupakan sumbangan untuk SD Inpres (Instruksi Presiden) waktu itu. Rumah Pratikno yang tak jauh dari sekolah akhirnya dijadikan ‘perpustakaan’. Disitulah Pratikno kecil mendapat untung bisa membaca buku setiap hari. “Karena buku pelajaran ditaruh di rumah semua, maka setiap hari saya bebas membaca buku-buku itu,” ceritanya. Itulah pengalaman yang kemudian membentuk Pratikno sebagai sosok yang gemar membaca.
Lulus SD, ia harus berjuang lagi untuk sekolah di SMP. Letak sekolah SMP sangat jauh dari rumahnya. Sepeda ontel menjadi moda transportasinya kala itu. “Kalau musim hujan, minta ampun. Licin. Jadi seringnya sepeda saya di atas (diangkat) daripada di bawah (dikayuh),” lagi-lagi ia tertawa. Karena jauhnya lokasi sekolah dengan rumah, Pratikno akhirnya indekos di lokasi terdekat sekolah. Saat itulah ia harus mandiri. Usai solat Subuh, ia harus menanak nasi sendiri dan makan dengan lauk seadanya.
Selepas SMP, kecerdasannya mulai terlihat. Ilmu aljabar (berhitung) adalah pelajaran favoritnya hingga sang guru senang dengannya karena pintar dalam ilmu hitung menghitung tersebut. “Saya pinter di aljabar waktu itu tuh, jadi the best two dari lima kelas itu selalu ada saya dan salah satu temen saya namanya Uuk. Saya lupa. Perempuan. Saya nggak tahu ia sekarang dimana. Jadi karena saya dulu terkenal di SMP karena aljabar. Pokonya aljabar, guru saya namanya pak Agus, sayang banget sama saya karena paling pinterlah kalo aljabar,” bebernya.
Pindah ke SMA, sekolahnya lebih jauh lagi. Letaknya 40 km dari rumah. Tepatnya di kota kabupaten Bojonegoro. “Saya di titipin ke temannya bapak saya,” tukasnya. Ia harus mengurus sendiri keperluan untuk SMA karena sang ayah sedang sibuk lantaran saat itu tengah mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. “Bapak lagi sibuk, jadi ya sudah kita nyari sekolah sendiri, daftar sendiri, diterima masuk SMA jurusan IPA,” ujar Pratikno yang selain suka pelajaran matematika juga fisika.
Lulus SMA, Pratikno punya kisah menarik. Ceritanya, ketika akan memutuskan untuk kuliah dimana dan di fakultas apa, ia teringat akan kesuksesan salah seorang sepupu ibunya yang menjadi Sekretaris Daerah (Sekda) Bojonegoro.
“Saya biasa panggil pak lek Hartato, jadi Sekda Bojonegoro. Imajinasi saya waktu SMA jadi Sekda itu enak. Rumahnya bagus, terasnya keramik. mengkilap. Setiap kali lewat depan rumahnya ia selalu berdecak kagum. Dari situlah keinginannya semakin kuat untuk menjadi Sekda. Untuk itu, sesuai saran ayahnya juga, ia harus masuk fakultas sosial politik. Tapi sang ibu yang selama ini tekun menjadi guru, ingin anaknya menjadi pengajar dan kuliah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP). “Jadi ini ada persaingan antara bapak dan ibu, kalo bapak saya ingin saya masuk pemerintah, ibu saya ingin saya jadi guru. Tapi gara-gara ada saudara jauh yang jadi Sekda yang saya sering lewat depan rumahnya, lihat terasnya mengkilap itu yang membuat saya berpikir, menjadi Sekda itu bisa punya teras yang mengkilap yang keliatan dari jalan. Nah cita-cita itu ya itu,” terangnya.Akhirnya, meski sempat kuliah di Fakultas Hukum, Pratikno akhirnya menambatkan pilihannya di Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta hingga mendapatkan S1. Di masa perkuliahan itulah Pratikno kembali menapak diri. Sampai kemudian ia mendapatkan predikat ‘siswa teladan’ dengan IP tertinggi. “Saya dapat hadiah studi lapangan ke Cilacap dan melakukan riset di Kampung Laut, antara Cilacap dan Nusa Kambangan. Dulu masih di tengah laut, sekarang sudah menyatu dengan daratan pasca gunung Galunggung. Di Kampung Laut itulah saya mulai tertarik riset. Itu yang mengubah hidup saya, yang tadinya cita-cita jadi Sekda, mulai goyang. Cukup menarik juga ternyata jadi peneliti, jadi akademisi,” ucapnya.
Suami dari Dra. Ec. Siti Faridah ini kemudian bergabung sebagai pengajar di UGM sejak tahun 1986, setahun setelah ia mendapatkan gelar sarjananya. Tahun 2003, ia ditunjuk sebagai direktur Program Pascasarjana Prodi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah sekaligus Wakil Dekan bidang Akademik FISIP UGM sejak tahun 2001 hingga tahun 2004. Tapi ada cerita miris juga dalam perjalanannya menjadi dosen dimana pada suatu ketika ia harus menjual motor kesayangannya untuk kursus bahasa Inggris dan mengambil S2 di Department of Development Administration University of Birmingham. Maklum, karena sudah bekerja sebagai dosen, tabu rasanya minta uang lagi kepada orang tua. Untungnya lagi, ia masih ada sedikit tambahan uang dari hasil menulisnya sebagai kolumnis di harian Jawa Pos.
Aktivitasnya sebagai akademisi itu pulalah yang kemudian mengantarkan Pratikno ditunjuk menjadi moderator debat capres tahun 2009 dan diangkat sebagai tim seleksi anggota KPU dan Bawaslu. Kesuksesan kembali mengantarkan peraih S3 di Department of Asian Studies, Flinders University of South Australia ini ketika civitas akademika UGM menabalkan sebagai Rektor UGM pada Maret 2012. Sebelum pemilihannya sebagai rektor, ia dinobatkan menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM pada tahun 2010.
Menuju Istana
Pratikno sungguh tak menyangka kalau ia bakal ditunjuk sebagai Mensesneg. Tak hanya sebagai Mensesneg, ketika terpilih sebagai Rektor UGM pun ia tak menyangka. Semua mengalir begitu saja. Soal kenapa ia yang seorang akademisi dan ahli di bidang otonomi daerah tidak dijadikan Menristek Dikti atau Mendagri saja? Pratikno juga tak tahu menahu. Hanya saja memang ia pernah diskusi dengan Presiden Jokowi sebelum ia dipilih sebagai Mensesneg.
“Tapi memang saya pernah bicara panjang dengan Pak Presiden mengenai Sekneg dan istana tentang tata organisasi di istana, sebagai bagian untuk mendukung sistem presidensial, waktu itu cerita juga di DKI. Waktu itu saya dipanggil ke Jakarta, langsung Jum’at pagi dikasih tahu untuk menjadi Mensesneg, wah sudah pusing membayangkan karena tiap hari dengan presiden,” ia tersenyum. Tapi, apapun yang ditugaskan negara, bagi Pratikno adalah sebuah tugas mulia yang harus dilakukan dengan tulus. Karena itu, tak heran kalau sejak awal ia sudah mempersiapkan diri untuk memberikan yang lebih baik di kementerian yang dipimpinnya. Karena tekadnya, kelak ia harus bisa mewariskan kelembagaan yang kuat di Kementerian Sekretariat Negara.
"Kita Harus Punya Kegelisahan"
Sungguh, Pratikno sama sekali tak menyangka kalau obrolannya awal Oktober 2014 lalu soal tata organisasi istana kepresidenan dengan Gubernur DKI Jakarta ketika itu Joko Widodo (Jokowi), membuat ia harus duduk di kursi Menteri Sekretaris Negara. Ketika itu, Jokowi sudah dipastikan bakal terpilih sebagai Presiden RI. Padahal background nya adalah seorang pengajar dan S2 dan S3 nya bidang otonomi daerah. Tapi, seperti falsafahnya yang selalu ia utarakan, “biarlah seperti air mengalir”. Ya, Pratikno pun mengalir mengikuti alur yang melaju. Seperti wawancara dengan Men’s Obsession yang mengalir dan akrab. Didampingi staf khusus dan Asisten Pribadinya, ia pun lancar bercerita tentang kiprah setahun lebih sebagai Mensesneg.
Bapak dari seorang akademisi dan sekarang menjadi menteri, apa perbedaan paling mencolok seorang menteri dan akademisi ?
Kalau akademisi banyak tahu, banyak bicara. Kalau jadi Mensesneg itu kan banyak tahu tapi sedikit bicara, bahkan nggak boleh bicara. Bukan merahasiakan, tapi justru bisa menimbulkan dampak yang tidak perlu. Memang Negara kan ada punya rahasia, tapi sekarang kan pak presiden malah justru suka keterbukaan. Dari anggaran sampe level mana, dibuatkan agar masyarakat tahu dan mengontrol.
Bagaimana kesan pertama menjalani tugas sebagai Mensesneg ?
Sebelum menjadi menteri, awal pertama itu hari Jum’at 24 Oktober 2014, udah langsung persiapan untuk perkenalan menteri. Saya diminta ikut rapat oleh presiden. Sampai waktu itu kan muncul berita, “Pratikno sudah memimpin rapat di Sekneg, persiapan pelantikan menteri”. Ada yang bilang saya ngga tahu diri, padahal waktu itu status saya ikut rapat karena diminta presiden. Itulah ceritanya perkenalan menteri, hari Minggu saya dengan Pak Presiden berbicara mulai dari bagaimana perkenalan menteri ini. Waktu perkenalan menteri itu, kita menyiapkan bagaimana format perkenalannya. Usulannya bagian protokol kan waktu itu di ruang Kredensial, tempat penerimaan Dubes itu. Tapi berkembang menjadi di halaman tengah istana. Waktu itu saya belum Mensesneg, tapi karena diminta Presiden, ya sudah saya siapkan. Waktu itu Presiden tidak mau pakai podium. Saya meyakinkan ke teman-teman protokoler bahwa presiden kita ini, nggak mau yang begini-gini. Maka pakai standing mic saja, maunya sama, nggak mau keliatan lebih tinggi. Ya sudah, akhirnya pakai standing mic saja. Akhirnya Presiden dan Ibu Negara kedepan dulu, saya kan dipanggil yang pertama waktu itu, saya di kasih tau protokoler sama paspampres “pak, nanti berdiri satu meter dibelakang sebelah kanannya pak presiden.” Katanya. Kemudian saya berdiri disebelah kanan pak presiden, satu meter dibelakangnya. Pak presiden nyariin saya, “pak Rektor, pak Rektor disini. Presiden panggil saya pak Rektor. Ya, kemudian saya disuruh maju ke depan selurusan dengan beliau. Jadi pak Presiden melanggar kebiasaan protokoler, itu pengalaman pertama dan juga pengalaman pertama bagi rekan-rekan di protokol.
Kapan bersentuhan pertama kali dengan Pak Jokowi?
Beliau kan satu angkatan, saya tidak kenal dengan beliau.
Bapak interaksi dengan Pak Jokowi sejak di kampus ?
Nggak, waktu walikota itu saya riset, saya pernah menulis artikel jurnal mengenai Solo, mengenai Active Citizen City. Jadi, saya kan tertarik belajar politik lokal sangat tertarik dengan Solo. Solo itu kan masyarakat Indonesia yang politically active, tidak ada sejarah masyarakat dengan keaktifan yang political. Syarikat Islam kan di Solo, kombinasi antara ekonomi dan politik sejarah berdirinya parpol kan kencengnya di Solo, sejarah pemberontakan kan di Solo. Dari situ saya tertarik dengan Solo, dan ketika ada walikotanya Pak Jokowi, saya mulai berhipotesis, ketika mempunyai masyarakat yang politically active tadi kan dan Active Citizenship ini leadershipnya seperti apa. Jadi, disitulah kami menemukan bahwa leadership Pak Jokowi sebagai antithesis, dengan leadership nya sebetulnya Pak Jokowi ini propher dengan politically active society. Nah waktu itulah kami mulai berspekulasi, inilah gaya kepemimpinan masyarakat demokratis.
Setelah hampir dua tahun sekarang ini, apa perubahan yang mungkin Bapak lakukan ?
Begini, di Setneg satu urusan dengan Presiden. Awal-awal saya sendirian, tidak ada staf Mensesneg, tidak ada staf khusus presiden. Saya pontang-panting mulai dari nol, sampai harus menata kursi. Ambil contoh, waktu pertemuan gubernur, kursi yang ditata oleh protokoler sangat berjarak. Jadi ada standar, ada step-nya lebih tinggi, kursinya lebih besar, kursinya berjaraknya rada jauh. Ya saya harus meyakinkan teman teman protokoler di lapangan, bahwa ini tidak bisa. Kursinya harus sama dan harus buat melingkar. Jaraknya tiga meter saja. Saya meyakinkan berapa kali untuk, hal-hal semacam itu, bahwa dari sisi protokoler memang iya, tapi Presiden sekarang ini beda. Saya ubah begitu. Dan ketika dicek pak Presiden, beliau bilang wah bagus ini. Termasuk kunjungan ke daerah. Gubernur yang pertama kali komplain dengan saya adalah pak Syahrul Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan. Dia tanya ada orang mengaku dari istana tapi tidak pakai surat tugas minta tidak usah pakai tenda. Saya jawab, benar itu. Sudah bener. Dia minta tolong buatkan surat tugas bahwa ini memang benar orang yang bapak tugaskan. Nah beliau makin percaya itu benar. Ada juga suatu ketika Presiden berhenti ditengah jalan. Terus turun, salaman sama anak-anak SD di sekolah, di pasar, prapatan turun, nah ini kerjaan protokoler, ini kita kerja yang paling berat kan kerja substansif ya, mengawal. Sering saya katakan kepada staf bahwa kita berada di pucuk. Ibarat bandul jam di atas. Gerak dikit, dibawahnya bisa gerak jauh banget. Makanya saya bilang kita prinsipnya zero mistake, dan tambahan pak presiden adalah kita harus memberikan tauladan, memberikan contoh.
Apa langkah lain yang Bapak Lakukan ?
Saya memulai agar Sesneg berbenah. Pertama, saya rekrut staf khusus. Biasanya staf khusus itukan bidang politik, ekonomi, hukum. Nah, saya rekrut khusus untuk membenahi tata kelola. Kemudian yang kedua masih urusan ke dalam lagi, staf khusus tata kelola itu juga ditopang dengan kita kerja besar-besaran. Selama ini misalnya urusan Mensekneg ini cukup banyak, mulai dari perundang-undangan, komplain masyarakat, presiden, administrasi aparatur, seluruh kementrian, seluruh DPR, pengangkatan hakim, semua disini. Protokoler istana juga. Termasuk BLU (Badan Layanan Umum), kita lihat BLU Kemayoran, BLU Gelora Bung Karno (GBK), semua disini. Untuk BLU Kemayoran saya rekrut direksi, dan saya minta tolong Pak Erry Riana Harjapamekas yang mantan KPK. Keberadaan Pak Erry ini memberikan messages bahwa orang korporasi dan anti korupsi. Alhamdulillah makin terbuka dengan masyarakat. Direksi BLU Kemayoran dan GBK ini ingin memberikan suatu yang semakin langka kedepan. Apa itu? Open Space. Ruang terbuka hijau. Kita sekarang harus membuat ruang tebuka hijau, dan Smart City Kemayoran, semangatnya menambah hutan kota ya seneng lah.
Termasuk juga sistem informasi ?
Ya, sistim informasi kita tingkatkan. Selama saya disini, satu aplikasi namanya SPDE (Sistem Persuratan Disposisi Elektronik). Sekarang persuratan harus SPDE. Kalau nggak SPDE nggak sampai ke menteri. Akhirnya semuanya.
Bagaimana dengan proses perundang-undangan yang harus lewat Setneg ?
Perundang undangan, itukan memang agak lama. Diskusi lama, koordinasi antar menteri lama. Makanya lalu kami buat yang namanya SIPU (Sistem Informasi Perundang undangan). Jadi informasi perundang-undangan itu didiskusikan antarmenteri membahas draf itu melalui share dokumen, itu rencana jadi dokumen tracking. Disini kita juga hati hati betul mengenai kerahasiaan. Jadi kita bisa membatasi bertemu dan lebih cepat. Termasuk jadwal presiden kita sistem penjadwalan dan dokumen pendukung, jadi kalau ada surat masuk langsung, siapa kirim surat langsung proofing, kegiatannya apa langsung proofing. Tapi cepat, kadang ada emergency juga. Tapi ada sistem informasi SPDE, Sistem penjadwalan, ini sistem IT semua, karena ini kontrol dan termasuk sistim penggajian dan sistim informasi penghasilan. Setidaknya ada delapan, perencanaan, sistem informasi dan perencanaan dan penganggaran, terus serapan anggaran, Bisa dilacak langsung lihat sekarang teman-teman di pemeriksaan juga jauh lebih gampang.
Masyarakat bisa akses pak?
Kita mulai tata di keterbukaan informasi, ini kita konsolidasikan, makanya kita sedang siapkan untuk akhir tahun 2016 nanti.
Bagaimana dengan proses pengambilan keputusan oleh Presiden ?
Satu, proses pengambilan keputusan di kita sudah cepat, di kabinet presiden. Tiap kali ada undang-undang kan dirapatkan dipimpin presiden. Jangankan undang-undang, peraturan menteri yang bersentuhan banyak dengan masyarakat, itu bisa dibuat rapat terbatas. Bisa dilihat kan jadwalnya presiden rapat kerja (raker) bisa sehari tiga kali dan seminggu bisa limabelas kali. Tentang apa saja, hingga hal-hal kecil. Sehingga waktu sudah habis, kecepatan ini bukan semata-mata karena kinerja Sekneg tapi juga karena leadership presiden. Jadi sebetulnya, kecepatan itu adalah hal utama dalam kecepatan mengambil keputusan, dan hal yang paling utama adalah terletak di presiden. Jadi kalau presiden mau goes up to detail.
Pusing nggak Pak dengan tugas yang boleh dibilang sangat banyak itu dan harus diselesaikan segera ?
Pusing ya pasti, tetapi karena leadership Presiden yang selalu berusaha cepat, maka itu menjadi sangat meringankan Mensesneg juga. Misalnya, kecepatan mengambil keputusan, bersedia untuk turun ketika antarmenteri tidak sejalan. Kalau baca jadwal presiden itu padat sekali. Kecepatan mengambil keputusan itu juga mengurangi penumpukan juga, ketegasan dalam keputusan yang diambil.
Perjalanan karir Bapak sangat sukses dan menginspirasi, kira-kira apa ‘kata kunci’ dari kesuksesan perjalanan Bapak?
Kata kuncinya, harus selalu gelisah. Jadi, kegelisahan sebetulnya menjadi energy. Kegelisahan itu yang membuat energi kita itu tak akan ada habisnya. Saya malas kalau bicara dengan orang yang tak ada kegelisahan. Kalau kita gelisah kan ada passion, ada tantangan. Ada energi ya, dan kegelisahan itu membuat kita tidak punya lelah. Karena itulah, kegelisahan-kegelisahan lama di negeri ini harus kita selesaikan. Kalau ada kegelisahan dalam mengurus perizinan, misalnya. Mari kita selesaikan dengan cepat. Dan kegelisahan-kegelisahan lain, itu harus kita selesaikan segera.
Kotak Rebusan yang Tak Boleh Dipegang Ajudan
Kebanyakan pejabat tinggi, apalagi seorang menteri, kalau turun dari mobil di depan kantornya pasti yang ada di tangannya adalah handphone atau gadget lainnya. Tapi tidak bagi Pratikno. Begitu turun dari mobil, yang ia pegang adalah kotak makan khusus berisi rebusan kentang, kacang, wortel dan umbi-umbian. “Ya, memang begitu. Handphone boleh dipegang sekretaris pribadi, tapi kalau kotak makanan, harus saya yang pegang. Kalau sespri atau ajudan yang pegang bisa dimakan, hahaa..” candanya.
Ternyata, isi kotak makanan itulah yang menjadi rahasia ayah dari Gita Nadia Hanum, Anisa Firdia Hanum, dan Hilda Mutia Hanum, ini dalam menjaga kebugaran. “Saya ini ibarat mobil yang gampang rusak. Karena kan perjalanan hidup, jadi saya butuh ekstra di banding orang lain. Makananpun khusus. Karena itu saya tidak punya juru masak di rumah. Yang ada adalah juru rebus. Karena semua makanan saya direbus,” jelasnya.
Soal olahraga, ia juga tidak terlalu serius melakukannya, ya karena kesibukannya itu. Hanya sepeda statis yang menjadi teman setianya untuk mengolah tubuh. Selain karena tidak terlalu berat, alat tersebut juga cukup praktis dan bisa ditempatkan di sudut ruang kerjanya.
Kalau untuk olahraga saja ia masih kekurangan waktu, apalagi untuk berkumpul bersama keluarga. Tapi, pria familiar ini cerdas dalam menciptakan quality time. Meski tidak pasti waktunya, ia selalu ada cara untuk berkumpul bersama.
Tidak mahal-mahal. “Paling paling makan pecel di terminal Condong Catur, Yogyakarta. Itu masih tetap lah kalau saya pulang ke Yogya, karena sampai sekarang itu ritual penting itu makan pecel. Sambil berdoa angkotnya tidak dihidupkan mesinnya, karena kalau dihidupkan itu asapnya bukan main.” akunya. Ia tak sungkan mengajak istri dan anaknya makan di pinggiran terminal tersebut.
Dari Kepedulian, Lahir Ademos
Jauh sebelum menjadi menteri, Pratikno dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial cukup tinggi. Berangkat dari kegelisahannya untuk meningkatkan sumberdaya manusia di pedesaan, misalnya, Pratikno mendirikan lembaga swadaya masyarakat Ademos (Asosiasi untuk Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial). Ademos sebagai sebuah komunitas ”sinau bareng” (belajar bersama) telah aktif sejak tahun 2004. Komunitas ini melibatkan sekelompok generasi muda pedesaan.
“Saya mengumpulkan anak-anak muda dan saya bilang, silakan belajar, kalo kamu sudah mulai bisa, saya akan fasilitasi ke Yogya atau ke Malang untuk belajar lebih lanjut. Mereka belajar di rumah saya yang di Yogya, kebetulan ada tanah sempit di seberang rumah saya buat rumah kecil. Itu digunakan untuk nampung anak-anak itu. Untuk garasi, kalo anak-anak datang dikeluarin mobilnya, gelar tikar disitu. Sekarang Ademos sudah lumayan sudah pernah pameran ke Jakarta, mendampingi peternakan. Itulah yang membuat saya rilis organisasi itu, kemudian juga dapat dukungan dari CSR sejumlah perusahaan dan sekarang running,” tegasnya. Tapi setelah menjadi Menteri, ia mengurangi aktivitasnya tersebut. Termasuk juga satu yayasan yang didirikannya yakni Yayasan Kariman Kasminah, diambil dari nama ayahnya Kariman dan sang bunda Kasminah.
“Karena jadi menteri, saya lepaskan ke yang lain, saya khawatir associated dengan pemanfaatan jabatan. Akhirnya saya freeze, kalo Ademos sudah jalan sendiri, sekarang kerjasamanya dengan perusahaan seperti Pertamina, Exxon Mobil, terkait CSR,” akunya.
Bersama PT. Pertamina EP Cepu (PEPC), Ademos kerap menggelar sinau bareng Batik dalam program Peningkatan Kualitas Pengrajin Sandang (Batik), di Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro.
Add to Flipboard Magazine.
Popular
Wanita Muslim yang Menginspirasi Dunia
24 July 2014Film-film Islam Terbaik Sepanjang Masa
01 July 2013