Meet The Minimalist Miskin Harta Kaya Batin
Naskah : Andi Nursaiful/berbagai sumber Foto: Istimewa
Paham ini muncul dari pengalaman betapa manusia modern cenderung membeli dan menumpuk benda-benda yang dianggap bermanfaat, hingga suatu
Untuk ukuran kesejahteraan hidup masyarakat di lingkungannya, orang-orang di bawah ini bisa dikategorikan miskin harta. Bukan lantaran tidak mampu untuk membeli, namun mereka adalah penganut paham minimalism, yang terwujud dalam segenap aspek gaya hidup. Paham ini menolak kepemilikan harta yang melebihi kebutuhan dasar. Pelan namun pasti, mereka mulai mengurangi harta benda miliknya, dan hidup ‘miskin’ namun kaya batin. Mereka lantas memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan tetap, dan memilih mengendalikan hidup mereka sendiri, melalui paham minimalisme yang lebih fokus pada sesuatu yang dianggap lebih penting dalam kehidupan. Sejak itu, mereka menulis ratusan artikel di dunia maya dan mengampanyekan agar masyarakat membebaskan diri dari kepemilikan.
Dalam bentuk ektremnya, gaya hidup mereka bahkan sangat minimalis untuk ukuran dunia modern yang kita kenal. Sampai-sampai jumlah follow di akun twitter dan friends di facebook, juga dikurangi dan hanya mempertahankan follow dan friends yang dianggap benar-benar bermanfaat. Konsep dan paham gaya hidup minimalis, rapi, simpel atau uncluttered life (tidak berantakan) menitikberatkan pada sisi fungsional. Segala hal yang tidak fungsional harus disingkirkan. Segala hal yang mengundang kerepotan, menguras energi dan waktu, harus dienyahkan. Pada akhirnya, segala keinginan yang tadinya membelenggu, pun musnah.
Tokoh minimalist yang cukup populer saat ini adalah dua serangkai Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus. Mereka dianggap sebagai contoh teladan yang mampu menerapkan prinsip minimalisme dengan lebih fokus pada sesuatu yang penting dalam hidup. Joshua dan Ryan mengklaim hanya memiliki 288 benda milik.
Menginjak usia ke-30, keduanya menyadari bahwa bekerja selama 70-80 jam dalam seminggu untuk mendapatkan gaji untuk membeli segala keperluan, ternyata tidak membuat mereka bahagia menjalani hidup. “Gaya hidup kami sebelumnya malah dipenuhi hutang, stres, keletihan, ketakutan, dan kesepian,” ujar mereka.