Di Tepi Sejarah Angkat Kisah Pahlawan Indonesia yang Terpinggirkan
Serial monolog“Di Tepi Sejarah” memasuki musim penayangan bulan Agustus ini. Lima riwayat pelaku sejarah dikisahkan di atas panggung. Monolog produksi Titimangsa dan Kawan Kawan Media bekerja sama dengan Direktorat Perfilman dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tersebut menampilkan Sjafruddin Prawiranegara, Kassian Cephas, Gombloh, Ismail Marzuki, dan Emiria Soenassa.
“Sjafruddin dipinggirkan dari sejarah kita dan disebut pengkhianat, padahal ia pernah memimpin pemerintahan Indonesia,” ungkap Happy Salma, pendiri Titimangsa dan produser pementasan Di Tepi Sejarah. Tragedi Sjafruddin dihadirkan agar pemirsa Di Tepi Sejarah, yang sasaran utamanya adalah pendidik dan pelajar, dapat berdiskusi dan melihat dari sudut pandang lain.
Yulia Evina Bhara, Produser KawanKawan Media, mengatakan berdasarkan pengalaman pada musim pertama (2021) guru-guru yang menonton membuat resensi lalu mendiskusikan apa yang mereka saksikan dari monolog pelaku-pelaku sejarah. Murid-murid lalu mendapat pengalaman baru tentang apa itu belajar sejarah.
“Tujuan kami sebetulnya sampai di situ saja, membuka ruang-ruang diskusi mengenai sejarah Indonesia melalui pelaku-pelaku yang belum dikenal atau diketahui sepintas karena panggung sejarah kerap hanya memberi tempat bagi nama-nama besar,” tutur Yulia.
Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, mengapresiasi ikhtiar Di Tepi Sejarah. Itu sebab, menurutnya, Kemendikbudristek mendukung kembali serial ini hingga memasuki musim kedua. "Saya berharap pementasan monolog tentang pelaku-pelaku kebudayaan itu dapat memantik pikiran-pikiran tentang pertemuan dan persilangan budaya yang terjadi di Indonesia. Dalam waktu hampir seratus tahun sejarah modern Indonesia, sedikit sekali ruang itu terbuka kecuali dalam kongres-kongres kebudayaan,” imbuhnya.
Selain Sjafruddin Prawiranegara (episode Kacamata Sjafruddin), keempat pelaku sejarah dalam musim tayang 2022 adalah orang-orang yang bergelut dalam kebudayaan. Episode Mata Kamera menampilkan Kassian Cephas, fotografer profesional pertama dari kalangan bumi putra (sebutan untuk orang Indonesia sebelum merdeka). Kassian bekerja di Keraton Mataram Yogyakarta masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII sebagai juru foto. Ia meninggalkan pengaruh kuat pada perkembangan fotografi di Indonesia kelak.
Figur ketiga adalah Gombloh(episode Panggil Aku Gombloh). Penikmat musik pop saat ini mungkin masih mengingat lagu tersohornya, “Kugadaikan Cintaku” yang sering kali diucapkan sebagai “di Radio” sesuai lirik pertama lagu ini. Titimangsa dan KawanKawan Media memilih Gombloh untuk mengantar pesan mengenai solidaritas sosial dan rasa cinta Tanah Air.
Episode Ismail Marzuki diberi judul Senandung di Ujung Revolusi. Melalui judul ini ada pernyataan yang terang diungkapkan bahwa revolusi kemerdekaan tidak melulu berkisah tentang bunyi bedil atau urat leher diplomasi. “Lagu-lagu Ismail hadir di ujung revolusi sebagai penanda bahwa Indonesia memasuki era baru sebagai bangsa yang berdaulat,” terang Agus Noor, sutradara monolog ini yang juga menulis naskahnya bersama Putu Fajar Arcana.
Suatu tepian jauh coba dijangkau juga oleh Di Tepi Sejarah dengan menghadirkan Emiria Soenassa (episode Yang Tertinggal di Jakarta). Emiria adalah pelukis perempuan Indonesia, boleh dibilang pertama, di awal abad ke-20. Ia adalah perempuan pertama yang menjadi kepala perkebunan. Ia perawat kesehatan. Ia juga pemikir revolusioner yang turut menjadi anggota delegasi dalam Konferensi Meja Bundar. Konferensi ini menjadi penentu bagi akhir perang dan pengakuan dunia atas kemerdekaan Indonesia.
Serial Monolog Di Tepi Sejarah Musim Kedua akan ditayangkan di Youtube Budaya Saya dan Indonesiana TV, yakni Kacamata Sjafruddin (17 Agustus 2022), Mata Kamera (18 Agustus 2022), Panggil Aku Gombloh (24 Agustus),Senandung di Ujung Revolusi (25 Agustus 2022), dan Yang Tertinggal di Jakarta (31 Agustus 2022). Sejumlah selebritas Tanah Air digandeng untuk memerankan para pahlawan nasional, dari Deva Mahenra, Lukman Sardi, hingga Dira Sugandi.