YLKI Gelar Diskusi Publik Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran
Pada 8 November 2022 lalu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengadakan diskusi publik bertajuk Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di DKI Jakarta, yang dihadiri oleh multi stake holders, mulai akademisi, pengamat, pemerintah, BPH Migas, kalangan milenial, jurnalis, dan lainnya. Diskusi tersebut disiarkan secara live via KBR dan direlay oleh ratusan radio jaringan di daerah.
Adapun hasil kesimpulan dari diskusi tersebut di antaranya sebagai berikut:
1. Masyarakat sering salah kaprah dengan membeli BBM yang lebih murah, tapi penghematan tidak signifikan. Sedangkan dampaknya justru bisa lebih besar. Jadi masyarakat sebenarnya merugi, karena harus mengeluarkan biaya maintenance yang lebih tinggi.
2. Namun, di sisi lain ada fenomena kesadaran di kalangan generasi muda, bahwa BBM bersubsidi akan merusak mesin, mesin jebol sehingga mereka lebih memilih menggunakan BBM yg lebih bagus, seperti pertamax.
3. Pemerintah didorong lebih konsisten dalam kebijakannya, misalnya dalam migrasi ke BBG. Penggunaan BBG itu bagus, ORGANDA mendukung, tapi pemerintah sendiri tidak konsisten. Sehingga jangan sampai diplesetkan bahwa BBG adalah : bolak balik gagal. BBG memang lebih efisien dan lebih ramah lingkungan.
4. BBM bersubsidi punya dua dimensi, adil secara ekonomi dan adil secara ekologis. Jika merujuk pada Undang Undang tentang Energi, maka subsidi energi peruntukannya adalah untuk masyarakat tidak mampu. Jadi jika BBM bersubaidi mayoritas digunakan oleh pemilik kendaraan bermotor, maka ini bentuk ketidakadilan dari sisi ekonomi. Dari sisi ekologis, BBM bersubsidi adalah bentuk ketidakadilan ekologis, sebab yang berhak atas subsidi energi adalah energi baru terbarukan, bukan energi fosil seperti BBM, apalagi BBM dengan kadar oktan yang rendah.
5. Agar pemerintah mengembangkan transportasi umum yang baik, nyaman, murah, sehingga ketika terjadi migrasi dari pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum masal, akan menekan tingkat polusi di kota kota besar, khususnya Jakarta.
6. Harus ada kebijakan berupa insentif dan disinsentif bagi warga. Sebagai contoh, bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi, maka bisa dikenakan tarif parkir progresif dan lebih mahal. Hal ini sudah mulai diujicobakan di Jakarta. Daerah lain bisa menerapkan hal yang sama.
7. Upaya pemerintah untuk mempromosikan kendaraan listrik, belum cukup efektif untuk mengurangi polusi di Jakarta, sebab jumlahnya masih minimalis, dibanding jumlah kendaraan bermotor yang berbasis bensin. Oleh karena itu, yang mendesak untuk mengurangi polusi di Jakarta adalah migrasi ke angkutan umum, dan mengganti /menggunakan bahan bakar yang berkualitas baik dan ramah lingkungan.