Mohammad Mahfud M.D. Sang Pengawal Konstitusi

Oleh: content (Administrator) - 01 January 2013
Dengan karakternya yang kritis, terbuka, egaliter, dan apa adanya, Ketua MK ini telah membuka pintu lebar-lebar kepada rakyat untuk memperkarakan produk hukum masa lalu yang tidak berpihak pada rakyat dan tidak demokratis. Ia melihat ada pelambatan proses reformasi. Konsolidasi dari otoriter ke demokrasi terlalu lama. “Padahal dalam teori pada umumnya dikenal proses perubahan dari otoriterisme ke demokrasi itu biasanya memerlukan paling lama itu dua kali Pemilu. Nah, kita ini sudah mau 4 kali Pemilu,” ujarnya. Politik nasional saat ini, katanya, masih anomali. “Dalam pengertian nilai-nilai lama yang kita anggap warisan dari otoriterisme sudah kita tolak, sementara nilai-nilai baru dan sistem yang baru itu belum menemukan bentuknya yang pas, nah oleh sebab itu sepertinya kita ini tidak efektif membangun demokrasi,” jelasnya. Meskipun di sisi lain, lanjut Mahfud, ia melihat ada kemajuankemajuan yang harus diakui, misalnya, tentang partisipasi politik masyarakat. “Partisipasi masyarakat itu jelas, sekarang tidak ada tekanan atau intimidasi kepada warga negara untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya,” ia menilai. Dalam pandangannya, faktor kepemimpinan sangat penting untuk menjawab kegamangan politik yang terjadi saat ini. “Saya tidak katakan leadership itu seseorang, tapi leadership itu menurut saya adalah kepemimpinan di berbagai level dari atas ke bawah, dan dari tengah ke samping. Di situ ada kelemahan-kelemahan leadership,” katanya. Karena itu, sosok pemimpin yang tepat untuk mengatasi anomali politik ini, menurut Mahfud, harus berani menegakkan aturan-aturan agar sistem bisa berjalan. “Sehingga dia bisa melakukan tindakan-tindakan dan memastikan bahwa semua aturan itu bisa ditegakkan tanpa pandang bulu, dan bisa membuktikan bahwa hukum punya kepastian,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa seorang pemimpin diberi otoritas oleh konstitusi untuk melakukan hal seperti itu. Tapi, lanjutnya lagi, berani saja tidak cukup bagi seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin juga harus bersih dari penyanderaan, pelanggaran-pelanggaran apapun di masa lalu, apakah itu pelanggaran korupsi, hukum, dan HAM. “Karena kalau orang tidak bersih, tidak mungkin dia punya keberanian atau kalau dia berani tapi tidak bersih itu nekat dan akan hancur sendiri atau menghancurkan,” tukasnya. Kepemimpinan yang tegas, menurutnya berbeda dengan kepemimpinan yang mengandalkan kekerasan untuk bersikap tegas. “Saya sering mengatakan kita perlu seorang strong, perlu satu strong leadership, kepemimpinan yang kuat, tapi bukan otoritorian leadership, tapi strong itu kuat, bisa mengarahkan sesuai dengan visi kita sebagai bangsa yang sudah ditulis dalam pembukaan UUD lalu. Visi pribadi seorang pimpinan itu disegani bukan ditakuti, tegas tapi bukan kejam.” Sekarang ini, katanya lagi, rakyat sudah mulai salah kaprah dalam menilai ketegasan seorang pemimpin. Seringkali menganggap tokoh yang keras dan kejam sebagai tokoh yang tegas. “Beda loh tegas dan kejam itu. Makna tegas dibelokan ke orang kejam itu tidak boleh dan kita di Indonesia punya orang-orang yang begitu,” ia mengingatkan. Mahfud memang dikenal sebagai tokoh yang berani bicara apa adanya. Ia tak takut mengritik sikap dan tindakan pejabat tinggi Negara yang juga koleganya. “Saya diajari oleh Gusdur (KH Abdurrahman Wahid) kalau Anda ingin berani, Anda harus takut pada takut, jadinya berani. Takutlah Anda kepada takut. Takut kepada takut artinya jangan takut karena sebenarnya yang paling menakutkan di dalam hidup ini adalah takut terhadap ketakutan itu sendiri,” ujarnya. Dengan keberanianya mengritisi para pejabat Negara, Mahfud sebenarnya ingin membangun budaya baru di dalam kepemimpinan. “Kalau Anda tanya kok Pak Mahfud suka blak-blakan, saya ingin menghilangkan budaya rikuh hubungan antarpejabat itu. Begini maksud saya, dulu di zaman Orde baru kita dibiasakan dengan budaya rikuh, seorang pejabat itu dibiasakan tak boleh banyak bicara, tidak boleh mengomentari kesalahan pejabat lain. Kalau saya tidak. Karena budaya seperti itu, misalnya, menteri kehakiman tidak boleh mengeritik menteri dalam negeri, menteri dalam negeri tidak boleh mengeritik menteri keuangan, itu menjadi api dalam sekam. Taruhlah semacam friksi atau malah korupsi secara diam-diam karena saling mendiamkan. Oleh sebab itu, saya katakan buang rikuh seperti itu, kita kalau ada pejabat lain yang setara dengan kita, apa salahnya kita kritik juga secara terbuka,” jelasnya lagi. Mahfud mengibaratkan keberadaan para pemimpin di Negara ini sebagai sebuah tim sepakbola. Presiden sebagai kapten, yang lainnya ada yang jadi penyerang, penjaga gawang, bek kiri dan bek kanan. Bila ada salah satu pemain salah, bisa saja diingatkan. “Yang penting tujuannya adalah gol,” ia beranalogi. Jika ia bebas mengritik orang lain, Mahfud juga mempersilakan orang lain mengritik dirinya. “Saya dikritik silakan saja. Saya gak pernah marah dan saya senang. Tidak pernah ada hati saya luka. Yang penting tujuan kita adalah untuk bangsa dan Negara,” tegasnya. Disinggung soal banyaknya hasil polling calon Presiden RI untuk Pemilu tahun
2014 yang menempatkan Mahfud sebagai kandidat terkuat, ia tertawa. “Saya senang karena, pertama, setiap orang tentu secara manusiawi kalau mendapat apresiasi, diakui atau tidak, pasti senang, daripada dicaci maki lebih baik dihargai seperti itu,” jawabnya masih sambil tersenyum. Ia menjelaskan
bahwa ia tidak pernah mempromosikan diri untuk jadi calon presiden. “Masuknya saya di berbagai Lembaga Survey itu kan, karena masuk sendiri bukan karena saya memasang baliho dan bukan karena saya pesan atau apa? itu yang membesarkan hati saya,” ucap sosok yang pernah aktif di Partai Kebangkitan Bangsa hingga terpilih sebagai anggota DPR RI tersebut. Tapi ia cukup tahu diri karena sekarang ini ia tidak punya partai politik dan tidak punya uang. “Saya hanya punya idealisme, nah inilah nilai yang tidak boleh saya tukar dengan Parpol dan uang,” tegasnya. Meski elektabilitasnya tinggi, Mahfud tak ingin idealismenya tergadaikan. Silakan saja partai politik mengusung dan donatur mendukung, tetapi tidak boleh membeli idealismenya. Yang pasti, satu hal yang menjadi obsesinya yakni berupaya agar setiap warga negara ini menikmati kemerdekaan dengan menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia . “Saya beruntung bisa menikmati kemerdekaan, saya ini orang desa, orang kampung yang sangat terbelakang, tetapi karena negara ini merdeka maka saya bisa bersekolah dengan baik, bisa mengejar cita-cita dengan baik, dan bisa memperoleh jabatan-jabatan penting sesuai dengan usaha saya, tetapi di alam merdeka ini banyak orang yang tidak seberuntung saya, nah obsesi saya bagaimana kenikmatannya itu bisa dinikmati sebanyak mungkin dirasakan oleh rakyat Indonesia,” harapnya. Ia juga berobsesi bagaimana demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia tegak, sehingga setiap orang bisa menikmati kemerdekaan itu. “Menurut saya dosa besar kita para pendiri negara ini kalau kita tidak mampu memberikan kesempatan pada setiap warga negara untuk menikmati kemerdekaan ini,” ujarnya. Filosofi hidupnya adalah seperti air mengalir, tapi ia tidak ingin menjadi buihnya. “Saya pernah membaca ayat Alquran yang sangat bagus menurut saya. Ketika Tuhan
berfirman bahwa Tuhan itu menurunkan air dari langit, kemudian air itu berhenti dicekungan lalu mengalir dan di dalam setiap aliran itu ada buih, nah ingatlah kamu kalau kamu menjadi buih itu tidak berguna, tapi kalau kamu menjadi orang yang benar jadilah airnya, mengalir. Jadilah airnya bukan buihnya karena buih itu tidak punya kemandirian, dia hanya diombang-ambingkan, tidak punya karakter, dia diombang-ambingkan oleh air yang mengalir, sehingga kalau air berbelok dia terlempar, ya kalau beloknya pelan, tapi kalau beloknya curam buih tetap terlempar. Mengalir saja, mengikuti aliran air,” ia memaparkan. Kini, air itu mengalir deras! Mahfud telah menjadi ikon kebangkitan penegakan hukum, demokrasi, dan HAM. Itu pula yang menjadi alasan Men’s Obsession menempatkannya sebagai salah satu Rising Star.



Mahfudgrafi
Nama : Mohammad Mahfud MD. Lahir : Sampang,
Madura, 13-05-1957. Pendidikan : S1 Fakultas
Hukum, Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas
Islam Indonesia (UII), Yogyakarta . S1 Fakultas Sastra
dan Kebudayaan (Sasdaya) Jurusan Sastra Arab,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Program Pasca
Sarjana S2, Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, Program Doktoral S3, Ilmu Hukum
Tata Negara, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Pekerjaan : Ketua Mahkamah Konstitusi. Karier
: Staf pengajar dan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sejak
tahun 1984. Menteri Pertahanan RI (2000-2001),
Menteri Kehakiman dan HAM (2001), Wakil Ketua
Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) (2002-2005), Rektor Universitas Islam
Kadiri (2003-2006), Anggota DPR-RI, duduk Komisi III
(2004-2006), Anggota DPR-RI, duduk Komisi I (2006-
2007), Anggota DPR-RI, duduk di Komisi III (2007-
2008), Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI (2007-
2008), Anggota Tim Konsultan Ahli Pada Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Depkum-HAM
Republik Indonesia. Mengajar di Universitas Islam
Indonesia (UII), UGM, UNS, UI, Unsoed, dan lebih
dari 10 Universitas lainnya pada program Pasca
Sarjana S2 & S3.