Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso

Oleh: content (Administrator) - 01 January 2013
Padahal, pria kelahiran Solo, 8 September 1952, ini, di kalangan purnawirawan maupun perwira menengah dan perwira tinggi TNI, kerap disebut-sebut sebagai salah seorang purnawirawan TNI yang pantas diusung menjadi calon presiden. Selain usianya baru memasuki 60 tahun, sosoknya yang sederhana dan berwibawa, Djoko dinilai sebagai pemimpin yang mumpuni (mengayomi dan diterima semua golongan masyarakat), serta memiliki track record pengabdian dan kepemimpinan yang meyakinkan selama berkarier di militer. Ia pun prototipe pemimpin yang mencerminkan karakter dan kultur Jawa. Perpaduan pengalamannya sebagai komandan pasukan tempur serta komando teritorial dan sosial politik, membawa Djoko menjadi salah satu perwira tinggi militer yang paham tentang nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), dan tak alergi terhadap sistem demokrasi. Ketegasan dan kepemimpinannya dalam wilayah konflik sangat teruji. Ketika memimpin Komando Operasi Pemulihan dan Keamanan (Koopslihan) di Maluku, tahun 2002-2003, sekaligus menjabat Panglima Kodam XVI Pattimura, mantan Panglima Divisi II Kostrad (Malang), ini, dikenal sangat persuasif dan lebih menonjolkan nilai-nilai HAM dalam mengatasi konflik. Mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, misalnya, memuji mantan Wakil Asisten Sosial Politik (Waassospol) Mabes TNI, ini, karena lebih mengedepankan dialog dan pendekatan prosperity dalam mencari solusi atas konflik horizontal di Maluku. “Dia itu bertangan dingin. Yang semula kita nilai tidak mungkin dipersatukan, di tangan Djoko bisa bersatu. Misalnya, aparat keamanan dan PNS yang berada dalam satu kantor yang berbeda agama yang semula terpecah, bisa dipersatukan kembali. Dia paham betul penyelesaian masalah tanpa kekerasan. Dia menempuh cara-cara sosial, kesejahteraan, dan pendekatan pembangunan, sehingga bisa diterima masyarakat,” puji Bachtiar Chamsyah, yang Kementeriannya banyak memberikan dukungan logistik untuk mendukung operasi pemulihan dan keamanan Maluku yang dilakukan Djoko Santoso. Salah seorang tokoh intelektual dan tokoh agama di Maluku, Dr. H.M. Attamimy, M.Ag, dalam sebuah buku yang ditulisnya, bahkan menggambarkan sosok Djoko Santoso sebagai pemimpin yang mampu Merajut Harmoni di Bumi Raja-Raja. Rektor IAIN Ambon yang kini menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Maluku, ini, menulis, Djoko adalah seorang pribadi yang cerdas, religius, tegas, dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya sebagai anak bangsa yang bertanggung jawab menjaga keamanan dan keselamatan bangsa dan Negara. “Beliau adalah seorang nasionalis yang brilian, seorang tokoh yang tercatat bukan saja dalam sejarah Maluku dan Maluku Utara, namun untuk Indonesia, atas jasajasanya yang telah meletakkan dasar-dasar perdamaian di Maluku dan Maluku Utara,” tulis Attamimy, mantan Ketua Senat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya (1981-1982).
          Penilaian serupa dikemukakan oleh Pendeta Dr. J. Ruhulessin, S.Th, M.Si, Ketua badan pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku. “Pak Djoko Santoso telah meletakkan fondasi yang kuat bagi penghentian konflik di Maluku. Beliau adalah seorang panglima yang rendah hati, brilian, mau mendengar dan profesional,” kata Ruhulessin. Hal senada dikemukakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, H. Idrus Tukan. “Beliau adalah seorang jenderal yang rendah hati dan sangat dekat serta bersedia berkomunikasi dengan masyarakat, sehingga selama kepemimpinannya masyarakat merasa tenteram dan merasa sangat kehilangan, karena beliau bertugas di Maluku terlalu singkat,” ujarnya. Bagi Djoko Santoso sendiri, pengalamannya di Maluku adalah bagian dari tugas dan pengabdian yang memang harus dilakukannya sebagai prajurit Sapta Marga. “Tak ada yang istimewa,” tutur mantan Kepala Staf TNI AD yang sehari-harinya berpenampilan sederhana dan low profile ini. Ketika menjabat Panglima TNI, Djoko memang dikenal sangat aktif turba membantu mengatasi bencana alam dengan mengerahkan prajurit TNI, memimpin tanggap darurat musibah tsunami Aceh, gempa Nias, Yogyakarta dan menangani konflik Poso. Pendiri Patriot Leadership Development Center ini juga dikenal sebagai Panglima TNI yang mampu bersikap netral pada Pemilu 2009, sehingga TNI tidak memihak salah satu kekutan partai politik maupun kandidat calon Presiden. Di era Djoko menjadi Panglima TNI, kekerasan militer terhadap rakyat juga berkurang drastis. Ketika ditemui di kediamannya, di kawasan Bambu Apus, Cilangkap, Jakarta Timur, awal Desember 2012 lalu, mantan Pangdam Jaya ini hanya tertawa lepas saat diminta kesiapannya untuk menjadi calon presiden. “Jadi Presiden itu berat lho Mas, ndak gampang!” katanya. Ia tak mengelak pendapat yang menyatakan bahwa untuk menjadi presiden di Indonesia harus kuat, tegas, dan merakyat. “Tetapi saya lebih sepakat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab, seorang pemimpin itu harus bisa membawa ummatnya berada di jalan Allah
untuk mencapai ridha Allah,” tegasnya. Djoko tampaknya bukan seorang yang ambisius untuk meraih kedudukan orang nomor satu di Republik ini. Ia meminta agar semuanya mengalir begitu saja. Pasalnya, “Jadi presiden itu takdir Gusti Allah, sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa,” kata lulusan Akademi Militer 1975 ini. Namun ia mengingatkan, untuk menjadi pemimpin, sejatinya kepentingan pribadi setiap kandidat harus sudah selesai. Sehingga benar-benar bisa mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara. Oleh sebab itu Djoko menyarankan kepada semua kandidat calon presiden, untuk memikirkan secara sungguh-sungguh konsep dan strategi keluar dari seluruh persoalan bangsa, untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai NKRI yang aman dan damai. “Satu hal yang harus dipikirkan, kalau sudah terpilih jadi presiden,
apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bangsa lima tahun ke depan? Ini tidak main-main, tidak mudah,” tandas mantan Anggota DPR/MPR RI (1992) ini, yang memiliki konsep Sapta Program untuk mengatasi persoalan bangsa, lima tahun ke depan. Jejak rekam, kapasitas, dan kapabilitas Djoko Santoso membuat jenderal bintang empat ini pantas direkomendasikan sebagai salah satu tokoh alternatif pemimpin bangsa. Apa siap dicalonkan? Menjawab pertanyaan itu, Djoko tercenung, sejenak. “Saya ini ndak punya partai. Tapi kalau memang takdirnya, ya insya Allah,” tutur Wakil Ketua Dewan Pembina IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) ini, santai.



Djokografi
Nama Lengkap Jenderal (Purn) Djoko Santoso Lahir Solo, 8 September 1952 Pendidikan Umum
Sarjana S1 FISIP (1994), Pascasarjana S2 Manajemen (2000) Pendidikan (militer) Akademi Militer
1975, Kursus Dasar Kecabangan Infantri (SUSSARCABIF) 1976, Kursus Lanjutan Perwira Tempur
(SUSLAPAPUR) 1987, Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (SESKOAD) 1990, Lembaga Pertahanan
Nasional (LEMHANAS) 2005 Karier Militer Danton-I/A/121/II (1976), ADC PangdamI/Bukit
Barisan (1978), ADC Pangkostrad (1980), Danki-A Yonif 502 (1980), Kasi-2/Ops Yonif 502 (1983),
Kasipam Dispamsanad (1987), Wadan Yonif L-328/Kostrad (1988), PS. Dantonif-330/Kostrad
(1990), Danyonif L-330/Kostrad (1990), Assospoldam Jaya (1995), Danrem 072/Pamungkas (1997),
Waassospol Kassospol ABRI (1998), Waassospol Kaster ABRI (1998), Kasdam IV/Diponegoro (2000),
Pangdiv-2/Kostrad (2001), Pangdam XVI/Pattimura (2002), Pangdam Jaya (2003), Wakil KASAD
2003, Kepala Staf TNI-AD (KASAD) 2005 Keluarga Angky Retno Yudianti (istri), Andika Pandu dan
Ardya Pratiwi Setyawati (putra putri)