Sultan Baktiar Najamudin (Ketua DPD RI), All Out untuk Demokrasi dan Penguatan DPD
Naskah: Gia Putri/Sahrudi Foto: Sutanto/Istimewa
Selaksa pengalaman sebagai organisatoris, pegiat demokrasi dan politisi telah mengukir karakter Sultan Baktiar Najamudin menjadi figur yang memiliki kepedulian tinggi bagi demokratisasi dan penguatan peran daerah dalam pembangunan nasional. Karena itu, sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, putra Bengkulu ini bertekad membangun parlemen yang efektif, kolaboratif dan inklusif, sebagai bagian demokrasi yang dibangun untuk memperkuat peran daerah mencapai Indonesia emas 2045.
Keseriusannya dalam upaya memberdayakan peran daerah melalui DPD RI sudah ia tanamkan sejak dirinya dipercaya menjadi pimpinan DPD RI pada periode 2019-2024. Ia bertekad mewujudkan visi membangun DPD RI menjadi parlemen yang kuat dan aspiratif untuk memperjuangkan kepentingan daerah dalam wadah NKRI.
Bagi Sultan, memperkuat peran DPD bisa dilakukan dengan sejumlah langkah semisal melakukan amandemen Undang-Undang untuk memperkuat peran DPD RI. Namun, langkah itu membutuhkan waktu yang lama. Untuk itu, strategi yang tepat menurutnya adalah melakukan kolaborasi agar aspirasi rakyat daerah lebih maksimal tersalurkan.
”Misalnya DPD mengusulkan ide, tapi output-nya atas nama DPR, silakan saja. Yang penting output-nya itu bisa dirasakan masyarakat daerah,” ujarnya saat diwawancarai Giattri Fachbrilian dari Men’s Obsession.
Kecintaannya pada pemberdayaan daerah juga ia tunjukan dengan ketidakinginannya berkiprah di parlemen melalui partai politik. Ia tidak ingin menjadi kader partai politik. “Saya tidak mau terikat dengan kepentingan. Yang jelas apa yang saya lakukan adalah benar-benar untuk membangun kemajuan daerah,” ucap Sultan.
Sebagai ketua lembaga negara yang memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional, Sultan melakukan strategi komunikasi jemput bola dengan seluruh daerah di Indonesia untuk mengetahui problem yang dihadapi daerah untuk kemudian diperjuangkan melalui DPD. “Saya buka ponsel saya terus, tidak pernah silent,” akunya.
Dalam wawancara yang serius tapi santai, pria bersahaja ini juga menyinggung soal kondisi politik nasional yang menurutnya kelebihan politisi, tapi kekurangan negarawan. “Sistem politik dan demokrasi kita hari ini, masih lebih banyak menghasilkan politisi ketimbang negarawan. Jadi, Indonesia surplus politisi, tapi defisit negarawan. Bukan berarti buruk, tapi ke depan ini bisa menjadi potensi masalah,” paparnya.
Sultan pun mengajak untuk bersamasama mengkritisi dan mendorong sistem yang melahirkan politisi berkualitas, agar Indonesia tidak hanya kaya akan politisi, tetapi juga dipimpin oleh negarawan yang benar-benar memerhatikan kesejahteraan rakyat. Hanya dengan cara ini Indonesia dapat mengatasi tantangan dan mewujudkan cita-cita bangsa yang lebih baik.
Pemikirannya itu ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Green Democracy. Buku ini menekankan tentang pentingnya keseimbangan dalam demokrasi. Karena menurutnya, demokrasi yang tidak seimbang akan menjadi masalah.
Tak kalah penting, Sultan juga menyoroti, pentingnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjelang Indonesia Emas 2045. “Dengan populasi Indonesia sebesar 280 juta jiwa, kita patut bangga, tetapi kualitas harus ditingkatkan,” tegas Founder Indonesian Democracy and Education (IDE) ini.
Di penghujung wawancara, Sultan juga mengakui tentang kecintaannya pada kedua orang tuanya. Putra bungsu dari pasangan Najamudin dan Nuraini ini adalah sosok yang penuh rasa hormat, terutama kepada sang ibu.