3 Perusahaan Besar Ini Pernah Nyaris Runtuh Namun Berhasil Bangkit

Oleh: Angie (Editor) - 29 March 2025

 

 

Tidak semua perusahaan yang berada di ambang kehancuran benar-benar berakhir dalam lembar sejarah yang dilupakan. Beberapa justru mengambil langkah berani untuk berbalik arah, menunjukkan bahwa krisis bisa menjadi titik balik, bukan akhir permainan.

Ada masa ketika ketiganya hampir dilupakan. Apple pernah alami kerugian besar dan kehilangan arah, LEGO kehilangan relevansi, dan Marvel terlilit utang. Bagaimana ketiganya membangun ulang pijakan bisnis yang lebih kuat dari sebelumnya?

 

Apple Fokus Kembali Temukan Identitas

Tahun 1997, Apple berada di ambang kehancuran. Produk mereka banyak, beragam, tapi membingungkan konsumen. Sahamnya anjlok ke level terendah. Di tengah kekacauan itu, Steve Jobs kembali ke perusahaan yang dulu ia dirikan. Bukannya langsung meluncurkan teknologi revolusioner, langkah awalnya justru membongkar. Ia memotong lini produk, memangkas proyek, dan menyisakan hanya empat kategori inti. Fokus ini membuat Apple lebih ringan, lebih cepat, dan lebih tajam mengambil keputusan.

Setelah fondasi itu kuat, barulah inovasi dimulai. iMac, iPod, dan akhirnya iPhone bukan hanya soal desain, tapi tentang kesederhanaan yang terukur dan pengalaman pengguna yang konsisten. Apple tak sebatas menjual teknologi, mereka merancang ulang cara manusia berinteraksi dengan teknologi itu sendiri. Dan semuanya dimulai dari keberanian untuk berhenti membuat terlalu banyak.

Dalam dunia bisnis, kepekaan dan kemampuan untuk berhenti, mengevaluasi, dan fokus bisa menjadi strategi terampuh. Itulah yang Apple lakukan.

 

LEGO Membangun Ulang Permainan

Di awal 2000-an, LEGO sempat kehilangan arah. Mereka mencoba masuk ke dunia video game, theme park, dan berbagai produk di luar inti bisnisnya. Biaya membengkak, kreativitas menurun, dan anak-anak mulai lebih tertarik pada layar dibanding balok warna-warni.

Solusinya adalah mendengarkan kembali. LEGO menyadari bahwa kekuatan terbesarnya adalah imajinasi anak-anak, bukan cuma bentuk produk. Mereka mulai melibatkan komunitas dalam desain, memberi ruang untuk kolaborasi dengan fans, dan mengembangkan lini produk yang tetap bermain di dunia digital namun tak meninggalkan akar sebagai mainan fisik. LEGO Star Wars, LEGO Ideas, hingga film animasi seolah menunjukkan relevansi tidak harus berarti berubah total, kadang cukup dengan kembali ke hal-hal yang membuat merek itu dicintai sejak awal. 

LEGO berhasil meningkatkan profitabilitas dan memperkuat brand relevance dengan kembali fokus pada core competency (balok kreatif) sambil beradaptasi pada tren digital. Mereka memperlihatkan bahwa relevansi tidak harus meninggalkan core value. Pembelajaran kuncinya adalah bahwa diversifikasi harus sejalan dengan kompetensi inti, melibatkan komunitas dalam pengembangan produk dapat meningkatkan loyalitas dan mengurangi risiko inovasi, serta integrasi digital-fisik menjadi kunci di era disruptif. Kesuksesan LEGO menunjukkan bahwa solusi menghadapi disrupsi tidak selalu dengan perubahan radikal, tetapi dengan kembali ke identitas merek dan beradaptasi secara bijak.

 

Marvel dan Keberanian bertaruh

Awal 1990-an bukan masa yang mudah bagi Marvel. Perusahaan komik itu terlilit utang dan akhirnya menjual hak karakter-karakter besarnya seperti Spider-Man dan X-Men ke studio lain. Yang tersisa hanyalah tokoh-tokoh seperti Iron Man, Thor, dan Captain America, yang saat itu belum tentu menarik perhatian audiens luas.

Alih-alih menyerah, Marvel membentuk Marvel Studios dan mempertaruhkan masa depan pada karakter-karakter tersisa. Mereka merancang sebuah alam semesta sinematik terhubung, sesuatu yang belum pernah dicoba secara konsisten di industri film. Hasilnya justru sekarang mengubah arah sejarah pop culture. Keberanian untuk percaya pada cerita sendiri, meskipun tanpa senjata pamungkas di tangan, menjadi kunci kebangkitan.

Keberhasilan MCU juga didukung oleh strategi pemasaran yang cerdas dan kemampuan untuk membangun komunitas penggemar yang aktif dan antusias. Mengingat kondisi keuangan Marvel di awal 1990-an, keberanian untuk "bertaruh" pada diri sendiri menunjukkan ketahanan dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi sulit. Mereka tidak menyerah pada keadaan, tetapi mencari solusi inovatif untuk keluar dari masalah.

 

 

Yang tumbuh dari kegagalan biasanya lebih kuat dari sebelumnya

Dari Apple, kita belajar bahwa menyederhanakan bisa lebih strategis daripada menambah. Dari LEGO, mendengarkan pasar lebih berharga daripada sekadar berinovasi membabi buta. Sementara Marvel menunjukkan keterbatasan kadang melahirkan kreativitas paling radikal.

Kisah-kisah ini menjadi pengingat bahwa kebangkitan perusahaan bukan semata hasil keberuntungan atau momen instan, nelainkan muncul dari keputusan strategis, keberanian mengubah arah, dan kesanggupan membaca ulang kebutuhan pasar. [Angie]