Madame Elizabeth: Otodidak Sejati
Naskah : Suci Yulianita Foto : Sutanto
*artikel ini dimuat pada edisi 107, Desember 2012
Siapa sangka bahwa kesuksesan bisnis Elizabeth berawal tak sengaja. Hobi shopping dan traveling-nya lah yang kemudian mengantarnya menjadi seorang pengusaha wanita yang bergelut di bidang fesyen. Hanya dalam tempo tujuh tahun, butik miliknya berkembang pesat, bahkan kini menjadi sumber mata pencahariannya, termasuk puluhan karyawan yang bergantung padanya.
Sejatinya, Elizabeth tidak memiliki latar belakang khusus di bidang fashion design. Ia adalah seorang otodidak sejati yang bermodalkan semangat dan niat besar, disertai ketekunan serta kesabaran yang berbalut doa.
Bisnisnya berawal dari dua koper pakaian yang ia bawa sepulang traveling untuk dijual kembali, dan ternyata laris. “Saya jadi senang jualan, sepertinya kok gampang sekali. Akhirnya sejak itu, tahun 2005, saya mulai merintis bisnis ini,” kenangnya.
Seiring waktu, Elizabeth mulai percaya diri untuk membuat label dan memproduksi busana sendiri. Walhasil, terciptalah rancangan busana wanita dan gaun-gaun anggun nan indah dengan label “Inne”.
Semua itu ia lakukan secara bertahap. Bermula dari dua buah mesin jahit dengan dua orang karyawan, kini ia memiliki puluhan mesin jahit dengan puluhan karyawan yang bekerja di showroom miliknya, di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Yang menarik, selama tujuh tahun itu pula, Elizabeth berjualan hanya dari mulut ke mulut dan dari bazaar ke bazaar, tanpa toko atau butik. Hingga saat ini, ia rutin berjualan dalam program bazaar “Ladies Day” di Cilandak Town Square, setiap hari Rabu. Tanpa rasa sungkan, ia terjun langsung melayani pembeli meskipun busana rancangannya itu sudah cukup dikenal dan laris di pasaran.
“Saya turun langsung berdagang. Saya harus datang, menunggu bazaar sampai selesai, dan pulang harus dapat uang. Itu misi saya,” ujarnya penuh semangat, seraya menambahkan “Pembeli juga maunya kalau ada saya yang melayani. Karena saya menganggap mereka sebagai teman dan senang memberi masukan kepada mereka, busana seperti apa yang pantas di tubuh masing-masing pembeli.”
Kesuksesannya itu tak lepas dari inovasi yang terus dikembangkan Elizabeth. Seperti kala pertama kali Batik booming di tengah masyarakat Indonesia, Elizabeth yang saat itu tidak menyediakan batik, segera bergerak cepat. Bahan batik yang dibelinya, ia rancang dengan gayanya menjadi sebuah gaun yang cantik dan elegan. “Waktu itu kan belum ada orang pake batik dengan model dress seksi dan elegan. Jadilah batik rancangan saya itu langsung laris begitu dipasarkan,” ucapnya.
*artikel ini dimuat pada edisi 107, Desember 2012
Siapa sangka bahwa kesuksesan bisnis Elizabeth berawal tak sengaja. Hobi shopping dan traveling-nya lah yang kemudian mengantarnya menjadi seorang pengusaha wanita yang bergelut di bidang fesyen. Hanya dalam tempo tujuh tahun, butik miliknya berkembang pesat, bahkan kini menjadi sumber mata pencahariannya, termasuk puluhan karyawan yang bergantung padanya.
Sejatinya, Elizabeth tidak memiliki latar belakang khusus di bidang fashion design. Ia adalah seorang otodidak sejati yang bermodalkan semangat dan niat besar, disertai ketekunan serta kesabaran yang berbalut doa.
Bisnisnya berawal dari dua koper pakaian yang ia bawa sepulang traveling untuk dijual kembali, dan ternyata laris. “Saya jadi senang jualan, sepertinya kok gampang sekali. Akhirnya sejak itu, tahun 2005, saya mulai merintis bisnis ini,” kenangnya.
Seiring waktu, Elizabeth mulai percaya diri untuk membuat label dan memproduksi busana sendiri. Walhasil, terciptalah rancangan busana wanita dan gaun-gaun anggun nan indah dengan label “Inne”.
Semua itu ia lakukan secara bertahap. Bermula dari dua buah mesin jahit dengan dua orang karyawan, kini ia memiliki puluhan mesin jahit dengan puluhan karyawan yang bekerja di showroom miliknya, di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Yang menarik, selama tujuh tahun itu pula, Elizabeth berjualan hanya dari mulut ke mulut dan dari bazaar ke bazaar, tanpa toko atau butik. Hingga saat ini, ia rutin berjualan dalam program bazaar “Ladies Day” di Cilandak Town Square, setiap hari Rabu. Tanpa rasa sungkan, ia terjun langsung melayani pembeli meskipun busana rancangannya itu sudah cukup dikenal dan laris di pasaran.
“Saya turun langsung berdagang. Saya harus datang, menunggu bazaar sampai selesai, dan pulang harus dapat uang. Itu misi saya,” ujarnya penuh semangat, seraya menambahkan “Pembeli juga maunya kalau ada saya yang melayani. Karena saya menganggap mereka sebagai teman dan senang memberi masukan kepada mereka, busana seperti apa yang pantas di tubuh masing-masing pembeli.”
Kesuksesannya itu tak lepas dari inovasi yang terus dikembangkan Elizabeth. Seperti kala pertama kali Batik booming di tengah masyarakat Indonesia, Elizabeth yang saat itu tidak menyediakan batik, segera bergerak cepat. Bahan batik yang dibelinya, ia rancang dengan gayanya menjadi sebuah gaun yang cantik dan elegan. “Waktu itu kan belum ada orang pake batik dengan model dress seksi dan elegan. Jadilah batik rancangan saya itu langsung laris begitu dipasarkan,” ucapnya.