Para Penemu dari Dunia Timur
Naskah : Andi Nursaiful/berbagai sumber Foto : Istimewa
Sepanjang peradaban manusia, dunia diberitahu bahwa segala sesuatu yang berbau penemuan besar umat manusia, selalu berawal dari dunia Barat. Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, sepenuhnya diciptakan atau dipelopori oleh orang-orang paling cerdas dari belahan bumi Barat.
Sesungguhnya, tak sedikit ilmuan dari dunia Timur yang berhasil mengubah sejarah melalui penemuan-penemuan mereka. Generasi-genarasi mendatang, seharusnya tak hanya mengenal Galileo, Newton, Einstein, Darwin, dan seterusnya. Sebab, banyak sekali penemu-penemu luar biasa yang berasal dari dunia Timur.
Bahkan, anggapan selama ini bahwa penyebaran ilmu pengetahuan berawal dari Barat ke Timur, perlu diperdebatkan lebih lanjut. Pada edisi ini kami mencoba memaparkan tokoh-tokoh penemu dari dunia timur yang jarang dimasukkan dalam buku-buku sejarah.
Sebuah tim yang dipimpin oleh Dr George Gheverghese Joseph dari Universitas Manchester, Inggris, menemukan sesuatu yang bisa membuat buku-buku sejarah harus ditulis ulang. Dr Joseph dan timnya meneliti sebuah sekolah kecil di India, Sekolah Kerala, dan berhasil mengidentifikasi “deret tak hingga”, yaitu salah satu komponen dasar dari kalkulus, yang beasal sekitar tahun 1350. Padahal, atribut kalkulus ini, dalam sejarah, baru diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton dalam bukunya, bersama Gottfried Leibnitz, pada akhir abad 17.
Tim yang juga melibatkan universitas Exerter, itu, juga menguak keberhasilan Sekolah Kerala yang telah mengungkapkan deret Pi dan menggunakannya untuk menghitung Pi sampai 9, 10, bahkan hingga 17 angka di belakang koma. Selain itu, ada bukti yang secara tidak langsung menyatakan bahwa orang India telah mengajarkan matematika mereka ke misionaris Jesuit yang mengunjungi India pada abad 15. Pengetahuan ini yang menurut mereka akhirnya sampai ke Newton.
Penemuan-penemuan itu, oleh Dr. Joseph kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul The Crest of the Peacock: the Non-European Roots of Mathematics, Princeton University Press. Di dalam buku itu, ia menyimpulkan,“Awal dari matematika moderen biasanya terlihat sebagai pencapaian orang Eropa. Namun penemuan di India Tengah antara abad ke-14 dan ke-16, sering kali diabaikan atau dilupakan.”
Dr Joseph menilai kecemerlangan pekerjaan Newton pada akhir abad 17 memang tidak menyusut, terutama ketika pekerjaan tersebut berkaitan dengan algoritma kalkulus. Tapi, Sekolah Kerala, khususnya Madhava dan Nilakantha, saling bahu-membahu menemukan komponen hebat lainnya dari kalkulus, yaitu deret tak hingga.
Menurutnya, ada banyak alasan mengapa kontribusi Sekolah Kerala tidak diakui. Alasan utamanya adalah ide yang keluar dari ilmuan dari dunia Non-Eropa diabaikan akibat warisan dari kolonialisme Eropa.
"Untuk beberapa pertimbangan yang tak dapat diduga, standar bukti yang diperlukan untuk mengakui penyebaran pengetahuan dari Timur ke Barat, ternyata lebih besar dibanding standar bukti yang diperlukan oleh penyebaran pengetahuan dari Barat ke Timur,” kata Dr Joseph.
Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern
Penemuan-penemuan dari dunia Timur, tentu saja bukan hanya dari India, atau China. Sejumlah referensi dan hasil penelitian yang jarang diekspos secara luas menunjukkan bahwa peradaban Islam di masa jayanya ternyata melahirkan banyak sekali ilmuan hebat yang mendahului ilmuan-ilmuan dunia Barat.
Sebuah contoh Ibnu Sina (980-1037), yang di dunia Barat lebih dikenal dengan nama Avicenna. Ibnu Sina adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif, di mana sebagian besar karyanya adalah filosofi dan pengobatan.
Bagi banyak orang, ia adalah "bapak pengobatan atau kedokteran Modern." Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib (The Book of Healing dan The Canon of Medicine), yang telah menjadi rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ilmuan muslim yang bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā telah menulis sedikitnya 450 judul buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Konon, ia telah menghafal keseluruhan isi alquran pada usia 10 tahun, sudah menguasai ilmu fisika, metafisik, dan matamatika di usia 16 tahun, serta menyelesaikan studi kedokteran pada umur 21.
Buku-buku medisnya terpengaruh oleh Hippocrates, Galen, dan Sushruta. Ibnu Sina tercatat sebagai ilmuan yang pertama kali memperkenalkan, risk factor analysis, quarantines, eksperimen sistematik dalam bidang fisiologi, dan ide-ide syndromes. Dia pula yang pertama kali mengobservasi dan menggambarkan penularan penyakit, dan penyebaran penyakit melalui seks. Ibu Sina pun menjadi pionir di area neuropsychiatry, orang pertama yang menulsi teori keberadaan mikroorganisme, serta tokoh yang meletakkan pondasi pengujian dan efektifitas obat-obatan medis.
Di bidang non kedokteran, Ibu Sina adalah orang pertama yang mendefinisikan prinsip fisika momentum. Sebagai filsuf, ia menulis banyak sekali karya yang membahas tentang logis, etika, dan metafisika, serta sukses menggabungkan Aristotelianism dan Neoplatonism. Karya-karya filsafatnya, banyak mempengaruhi filsuf Eropa, seperti, William of Auvergne, St Albertus Magnus, hingga St Thomas Aquinas.
Ibu Sina lahir di era keemasan peradaban Islam. Pada era itu, ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia, dan India. Teks Yunani dari jaman Plato, masa sesudahnya, hingga masa Aristoteles, bukan saja diterjemahkan, namun dikembangkan lebih maju. Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi.
Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi matematika, astronomi, aljabar, trigonometri, dan ilmu pengobatan. Ilmu-ilmu lain, seperti. studi tentang alquran dan hadist, juga berkembang dalam suasana ilmiah. Ilmu lainnya seperti ilmu filsafat, fikih, ilmu kalam, benar-benar berkembang dengan pesat.
Pada masa itu, Al-Razi dan Al-Farabi menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu pengobatan dan filsafat. Pada masa itu hidup pula sejumlah ilmuwan muslim, seperti, astronom terkenal Abu Raihan Al-Biruni, Aruzi Samarqandi dan Abu Nashr Mansur yang merupakan matematikawan terkenal, hingga fisikawan Abu al-Khayr Khammar.
Teori Relativitas al-Kindi
Dari nama-nama itu, baru Ibnu Sina yang sudah diakui luas di dunia Barat. Padahal, banyak sekali ilmuan dari dunia Islam yang sebetulnya telah melakukan penemuan jauh sebelum bangsa Eropa.
Sebut contoh teori relativitas, yang selama ini melekat pada Albert Eistein. Teori ini, ternyata telah lama dicetuskan oleh ilmuwan muslim di abad ke-8 Masehi. Dialah Abu Yusuf bin Ashaq al-Kindi. Ia adalah seorang ilmuwan dan filsuf Muslim keturunan Yaman dan lahir di Kufah pada tahun 185 H/796 M.
Dikenal di dunia Barat dengan nama sebagai Alkindus, ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk relatif dan terbatas. Walaupun semua makhluk individu tidak terbatas banyaknya, namun waktu, gerak, badan, dan ruang sesungguhnya terbatas. Intinya, Al-Kindi hendak menyatakan bahwa “Waktu itu ada (eksis) karena ada gerak. Gerak itu ada karena badan/tubuh yang bergerak. Jika tidak bergerak, ada tubuh yang diperlukan untuk bergerak. Jika ada badan, ada gerakan yang dilakukan.”
Dengan kata lain, ruang, waktu, gerakan, dan benda itu bersifat relatif satu sama lain, dan tidak dapat berlaku sendiri atau absolut. Seluruhnya bersifat relatif terhadap objek-objek lain dan terhadap si pengamat.
Teori yang digagas Einstein juga hampir sama. Ia menyatakan bahwa “Eksistensi-eksistensi dalam dunia ini terbatas, walaupun eksistensi itu sendiri tidak terbatas.” Tentu saja, karena kedua ilmuwan ini hidup dan berkarya di zaman yang berbeda, maka temuan dari Einstein lebih mendetail dan dijelaskan dengan dukungan penelitian dan pengujian ilmiah. Bahkan telah terbukti dengan adanya ledakan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Namun, teori relativitas yang digagas oleh Einstein pada abad ke-20, sebenarnya telah lebih dulu ditemukan oleh Abu al-Kindi sekitar seribu seratus tahun sebelumnya.
Hukum Gravitasi Universal
Dunia juga mengenal Sir Isaac Newton sebagai penemu pertama hukum gravitasi universal. Namun, sesungguhnya, jauh sebelum Newton lahir, ilmuan muslim bernama bernama Abu Ja'far Muhammad ibn Musa ibn Shakir, yang hidup antara tahun 803-873 di Baghdad, Irak, sudah menciptakan hipotesis akan adanya suatu daya tarik raksasa dalam pergerakan benda-benda luar angkasa.
Abu Ja'far Muhammad, yang memiliki keahlian khusus di bidang astronomi, teknik, geometri, dan fisika, dalam Kitab al-Hiyal memberikan penjelasan tentang gerakan bola. Dalam buku tersebut, dia juga menuliskan penemuannya tentang benda-benda langit yang menjadi subjek dalam hukum fisika bumi. Karya Abu Ja'far Muhammad lainnya adalah pembahasan tentang gerakan bintang dan hukum tarik-menarik. Ia mengungkapkan adanya gaya tarik-menarik antara benda-benda langit.
Ilmuan Multidisplin Ilmu
Popularitas Ibnu Sina di dunia Barat, kemudian diikuti oleh sahabatnya, Abu Raihan Al-Biruni (973-1048), asal Persia. Ia adalah seorang cerdas multidisiplin ilmu. Ia seorang matematikawan, astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia, filsuf, pengembara, sejarawan, sekaligus ahli farmasi. Ia menguasai bahasa Persia, Arab, Yunani, Yahudi, Syria, hingga Sansekerta.
Ia menulis sedikitnya 146 buku di bidang astronomi, astrologi, geografi, dan matematika. Sayangnya, hanya 22 dari karyanya yang bisa diselamatkan. Di bidang astronomi, ia banyak mengkritisi dan memperbaiki kesalahan ilmuan-ilmuan sebelumnya. Misalnya, ia mengoreksi perhitungan Ptolemeus tentang jarak Bumi ke Matahari. Ia pula yang pertama kali menyusun teori orbit eliptikal dari planet-planet. Ia pula yang menemukan teori geodesy, pengukuran tiga dimensi planet Bumi. Perhitungannya tentang radius Bumi hanya meleset 16,8 km.
Biruni pula yang menjadi salah satu pelopor awal metode percobaan ilmiah di bidang mineralogy dan berhasil mengukur dan menyusun katalog tentang bebatuan dan mineral Bumi. Biruni juga menjadi Bapak Antropologi berkat dedikasinya observasinya dan karya ilmiahnya tentang budaya dan agama di berbagai peradaban.
Semua itu ia lakukan dalam usia yang sangat belia. Ketika berusia 17 tahun, ia sudah meneliti garis lintang bagi Kath, Khwarazm, dengan menggunakan altitude maksima matahari. Ketika berusia 22, dia menulis beberapa hasil kerja ringkas, termasuk kajian proyeksi peta Kartografi, yang termasuk metodologi untuk membuat proyeksi belahan bumi pada bidang datar. DI usia itu, ia juga telah ...
Sepanjang peradaban manusia, dunia diberitahu bahwa segala sesuatu yang berbau penemuan besar umat manusia, selalu berawal dari dunia Barat. Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, sepenuhnya diciptakan atau dipelopori oleh orang-orang paling cerdas dari belahan bumi Barat.
Sesungguhnya, tak sedikit ilmuan dari dunia Timur yang berhasil mengubah sejarah melalui penemuan-penemuan mereka. Generasi-genarasi mendatang, seharusnya tak hanya mengenal Galileo, Newton, Einstein, Darwin, dan seterusnya. Sebab, banyak sekali penemu-penemu luar biasa yang berasal dari dunia Timur.
Bahkan, anggapan selama ini bahwa penyebaran ilmu pengetahuan berawal dari Barat ke Timur, perlu diperdebatkan lebih lanjut. Pada edisi ini kami mencoba memaparkan tokoh-tokoh penemu dari dunia timur yang jarang dimasukkan dalam buku-buku sejarah.
Sebuah tim yang dipimpin oleh Dr George Gheverghese Joseph dari Universitas Manchester, Inggris, menemukan sesuatu yang bisa membuat buku-buku sejarah harus ditulis ulang. Dr Joseph dan timnya meneliti sebuah sekolah kecil di India, Sekolah Kerala, dan berhasil mengidentifikasi “deret tak hingga”, yaitu salah satu komponen dasar dari kalkulus, yang beasal sekitar tahun 1350. Padahal, atribut kalkulus ini, dalam sejarah, baru diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton dalam bukunya, bersama Gottfried Leibnitz, pada akhir abad 17.
Tim yang juga melibatkan universitas Exerter, itu, juga menguak keberhasilan Sekolah Kerala yang telah mengungkapkan deret Pi dan menggunakannya untuk menghitung Pi sampai 9, 10, bahkan hingga 17 angka di belakang koma. Selain itu, ada bukti yang secara tidak langsung menyatakan bahwa orang India telah mengajarkan matematika mereka ke misionaris Jesuit yang mengunjungi India pada abad 15. Pengetahuan ini yang menurut mereka akhirnya sampai ke Newton.
Penemuan-penemuan itu, oleh Dr. Joseph kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul The Crest of the Peacock: the Non-European Roots of Mathematics, Princeton University Press. Di dalam buku itu, ia menyimpulkan,“Awal dari matematika moderen biasanya terlihat sebagai pencapaian orang Eropa. Namun penemuan di India Tengah antara abad ke-14 dan ke-16, sering kali diabaikan atau dilupakan.”
Dr Joseph menilai kecemerlangan pekerjaan Newton pada akhir abad 17 memang tidak menyusut, terutama ketika pekerjaan tersebut berkaitan dengan algoritma kalkulus. Tapi, Sekolah Kerala, khususnya Madhava dan Nilakantha, saling bahu-membahu menemukan komponen hebat lainnya dari kalkulus, yaitu deret tak hingga.
Menurutnya, ada banyak alasan mengapa kontribusi Sekolah Kerala tidak diakui. Alasan utamanya adalah ide yang keluar dari ilmuan dari dunia Non-Eropa diabaikan akibat warisan dari kolonialisme Eropa.
"Untuk beberapa pertimbangan yang tak dapat diduga, standar bukti yang diperlukan untuk mengakui penyebaran pengetahuan dari Timur ke Barat, ternyata lebih besar dibanding standar bukti yang diperlukan oleh penyebaran pengetahuan dari Barat ke Timur,” kata Dr Joseph.
Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern
Penemuan-penemuan dari dunia Timur, tentu saja bukan hanya dari India, atau China. Sejumlah referensi dan hasil penelitian yang jarang diekspos secara luas menunjukkan bahwa peradaban Islam di masa jayanya ternyata melahirkan banyak sekali ilmuan hebat yang mendahului ilmuan-ilmuan dunia Barat.
Sebuah contoh Ibnu Sina (980-1037), yang di dunia Barat lebih dikenal dengan nama Avicenna. Ibnu Sina adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif, di mana sebagian besar karyanya adalah filosofi dan pengobatan.
Bagi banyak orang, ia adalah "bapak pengobatan atau kedokteran Modern." Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib (The Book of Healing dan The Canon of Medicine), yang telah menjadi rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ilmuan muslim yang bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā telah menulis sedikitnya 450 judul buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Konon, ia telah menghafal keseluruhan isi alquran pada usia 10 tahun, sudah menguasai ilmu fisika, metafisik, dan matamatika di usia 16 tahun, serta menyelesaikan studi kedokteran pada umur 21.
Buku-buku medisnya terpengaruh oleh Hippocrates, Galen, dan Sushruta. Ibnu Sina tercatat sebagai ilmuan yang pertama kali memperkenalkan, risk factor analysis, quarantines, eksperimen sistematik dalam bidang fisiologi, dan ide-ide syndromes. Dia pula yang pertama kali mengobservasi dan menggambarkan penularan penyakit, dan penyebaran penyakit melalui seks. Ibu Sina pun menjadi pionir di area neuropsychiatry, orang pertama yang menulsi teori keberadaan mikroorganisme, serta tokoh yang meletakkan pondasi pengujian dan efektifitas obat-obatan medis.
Di bidang non kedokteran, Ibu Sina adalah orang pertama yang mendefinisikan prinsip fisika momentum. Sebagai filsuf, ia menulis banyak sekali karya yang membahas tentang logis, etika, dan metafisika, serta sukses menggabungkan Aristotelianism dan Neoplatonism. Karya-karya filsafatnya, banyak mempengaruhi filsuf Eropa, seperti, William of Auvergne, St Albertus Magnus, hingga St Thomas Aquinas.
Ibu Sina lahir di era keemasan peradaban Islam. Pada era itu, ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia, dan India. Teks Yunani dari jaman Plato, masa sesudahnya, hingga masa Aristoteles, bukan saja diterjemahkan, namun dikembangkan lebih maju. Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi.
Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi matematika, astronomi, aljabar, trigonometri, dan ilmu pengobatan. Ilmu-ilmu lain, seperti. studi tentang alquran dan hadist, juga berkembang dalam suasana ilmiah. Ilmu lainnya seperti ilmu filsafat, fikih, ilmu kalam, benar-benar berkembang dengan pesat.
Pada masa itu, Al-Razi dan Al-Farabi menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu pengobatan dan filsafat. Pada masa itu hidup pula sejumlah ilmuwan muslim, seperti, astronom terkenal Abu Raihan Al-Biruni, Aruzi Samarqandi dan Abu Nashr Mansur yang merupakan matematikawan terkenal, hingga fisikawan Abu al-Khayr Khammar.
Teori Relativitas al-Kindi
Dari nama-nama itu, baru Ibnu Sina yang sudah diakui luas di dunia Barat. Padahal, banyak sekali ilmuan dari dunia Islam yang sebetulnya telah melakukan penemuan jauh sebelum bangsa Eropa.
Sebut contoh teori relativitas, yang selama ini melekat pada Albert Eistein. Teori ini, ternyata telah lama dicetuskan oleh ilmuwan muslim di abad ke-8 Masehi. Dialah Abu Yusuf bin Ashaq al-Kindi. Ia adalah seorang ilmuwan dan filsuf Muslim keturunan Yaman dan lahir di Kufah pada tahun 185 H/796 M.
Dikenal di dunia Barat dengan nama sebagai Alkindus, ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk relatif dan terbatas. Walaupun semua makhluk individu tidak terbatas banyaknya, namun waktu, gerak, badan, dan ruang sesungguhnya terbatas. Intinya, Al-Kindi hendak menyatakan bahwa “Waktu itu ada (eksis) karena ada gerak. Gerak itu ada karena badan/tubuh yang bergerak. Jika tidak bergerak, ada tubuh yang diperlukan untuk bergerak. Jika ada badan, ada gerakan yang dilakukan.”
Dengan kata lain, ruang, waktu, gerakan, dan benda itu bersifat relatif satu sama lain, dan tidak dapat berlaku sendiri atau absolut. Seluruhnya bersifat relatif terhadap objek-objek lain dan terhadap si pengamat.
Teori yang digagas Einstein juga hampir sama. Ia menyatakan bahwa “Eksistensi-eksistensi dalam dunia ini terbatas, walaupun eksistensi itu sendiri tidak terbatas.” Tentu saja, karena kedua ilmuwan ini hidup dan berkarya di zaman yang berbeda, maka temuan dari Einstein lebih mendetail dan dijelaskan dengan dukungan penelitian dan pengujian ilmiah. Bahkan telah terbukti dengan adanya ledakan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Namun, teori relativitas yang digagas oleh Einstein pada abad ke-20, sebenarnya telah lebih dulu ditemukan oleh Abu al-Kindi sekitar seribu seratus tahun sebelumnya.
Hukum Gravitasi Universal
Dunia juga mengenal Sir Isaac Newton sebagai penemu pertama hukum gravitasi universal. Namun, sesungguhnya, jauh sebelum Newton lahir, ilmuan muslim bernama bernama Abu Ja'far Muhammad ibn Musa ibn Shakir, yang hidup antara tahun 803-873 di Baghdad, Irak, sudah menciptakan hipotesis akan adanya suatu daya tarik raksasa dalam pergerakan benda-benda luar angkasa.
Abu Ja'far Muhammad, yang memiliki keahlian khusus di bidang astronomi, teknik, geometri, dan fisika, dalam Kitab al-Hiyal memberikan penjelasan tentang gerakan bola. Dalam buku tersebut, dia juga menuliskan penemuannya tentang benda-benda langit yang menjadi subjek dalam hukum fisika bumi. Karya Abu Ja'far Muhammad lainnya adalah pembahasan tentang gerakan bintang dan hukum tarik-menarik. Ia mengungkapkan adanya gaya tarik-menarik antara benda-benda langit.
Ilmuan Multidisplin Ilmu
Popularitas Ibnu Sina di dunia Barat, kemudian diikuti oleh sahabatnya, Abu Raihan Al-Biruni (973-1048), asal Persia. Ia adalah seorang cerdas multidisiplin ilmu. Ia seorang matematikawan, astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia, filsuf, pengembara, sejarawan, sekaligus ahli farmasi. Ia menguasai bahasa Persia, Arab, Yunani, Yahudi, Syria, hingga Sansekerta.
Ia menulis sedikitnya 146 buku di bidang astronomi, astrologi, geografi, dan matematika. Sayangnya, hanya 22 dari karyanya yang bisa diselamatkan. Di bidang astronomi, ia banyak mengkritisi dan memperbaiki kesalahan ilmuan-ilmuan sebelumnya. Misalnya, ia mengoreksi perhitungan Ptolemeus tentang jarak Bumi ke Matahari. Ia pula yang pertama kali menyusun teori orbit eliptikal dari planet-planet. Ia pula yang menemukan teori geodesy, pengukuran tiga dimensi planet Bumi. Perhitungannya tentang radius Bumi hanya meleset 16,8 km.
Biruni pula yang menjadi salah satu pelopor awal metode percobaan ilmiah di bidang mineralogy dan berhasil mengukur dan menyusun katalog tentang bebatuan dan mineral Bumi. Biruni juga menjadi Bapak Antropologi berkat dedikasinya observasinya dan karya ilmiahnya tentang budaya dan agama di berbagai peradaban.
Semua itu ia lakukan dalam usia yang sangat belia. Ketika berusia 17 tahun, ia sudah meneliti garis lintang bagi Kath, Khwarazm, dengan menggunakan altitude maksima matahari. Ketika berusia 22, dia menulis beberapa hasil kerja ringkas, termasuk kajian proyeksi peta Kartografi, yang termasuk metodologi untuk membuat proyeksi belahan bumi pada bidang datar. DI usia itu, ia juga telah ...