Gombloh dan Prostitusi di Surabaya
“Panggil Aku Gombloh” mengisahkan perjalanan hidup penyanyi bernama Soedjarwoto Soemarsono. Ia popular dengan nama Gombloh. Jiwa nasionalismenya 24 karat. Ia adalah sosok lelaki sederhana. Hidupnya jauh dari glamor. Buktinya, ketika album “Kebyar-Kebyar” sukses di pasaran, ia menikmatinya bersama abang becak, pengangguran, dan para pedagang kecil di Surabaya.
Di panggung musik, Gombloh selalu tampil nyentrik: berambut gondrong, mengenakan topi dan kumis yang tak rapi. Ia seorang bohemian yang bercita-cita, ingin melihat Indonesia menjadi negara maju.
Ia ingin mewujudkan tatanan dunia tanpa prostitusi. Meskipun sulit, setidaknya ia mengupayakan cita-citanya itu di Surabaya.
Lagu-lagunya berkisah tentang nasionalisme, kehidupan sosial, ironi masyarakat perkotaan, serta sisi manusiawi dari lingkungan yang disebut nista: prostitusi.Lagu-lagunya berbicara lantang, tanpa basa-basi.
Dalam bermusik, Gombloh secara terang-terangan mengakui ia menggadaikan idealisme musiknya demi uang, demi keluarga, terutama ketika ia muncul dengan lagu-lagu yang komersil. Bagi Gomloh, ia hanya manusia yang ingin bermusik sejauh yang ia bisa.
Meski ia meraup popularitas, tapi nuraninya memberontak.
“Seniman itu nggak suka dengan karyanya sendiri. Setiap seniman ingin dikenang dengan karya-karya terbaiknya. ‘Kugadaikan Cintaku’ yang terinspirasi dari "Wonderful World, Beautiful People"-nya Jimmy Cliff itu disukai banyak orang,” ungkapnya.
Padahal di hati kecilnya, ia lebih suka disebut dengan musisi nasionalisme, bukan pop. “Gombloh yang akrab dengan angin malam,” ujarnya.
Mulanya, “Kugadaikan Cintaku” berlirik sosial laik tembang-tembang lainnya. Namun atas permintaan Bob Djumura, hanya dalam hitungan menit, Gombloh sudah mengubahnya menjadi lagu bernapaskan cinta. Lagu tersebut pun meledak dan melegenda.
Kodrat Tuhan yang melambungkan Gombloh melalui keindahan nada dan irama serta realitas kata dan makna, tak lantas membuat lupa daratan. Ia tetaplah Gombloh. Kesederhanaannya lahir dari jiwa apa adanya, tertumpuk dari setiap scene hidup yang ia potret.
Melalui syari musik, Gombloh berupaya merefleksikan kemurnian pikiran dan kejernihan serta kedalaman batinnya ihwal realitas yang ada, ihwal apa yang tak sempat dipikirkan dan dipedulikan banyak orang.
Keintimannya dengan kaum kelas bawah juga-lah yang menjadi sumber imajinasinya dalam melahirkan karya-karya berkelas. Akrab dalam berbagai kisah, Gombloh, lokalisasi, dan klab malam bagai kekasih yang saling mengisi.
“Pakaian-pakaian dalam ini punya pelacur. Lokalisasi ini tempat memperkaya lirik laguku. Mereka banyak bercerita keinginannya untuk pulang, ketemu orangtua, anak, suami di desa. Mereka selalu menyebut nama Allah agar dimaafkan,” paparnya seraya mengeluarkan pakaian-pakaian dalam lemari.
Salah satunya, pakaian dalam milik Lony, perempuan asal desa terpencil di Jawa Timur. Suaminya mengidap penyakit TBC dan anaknya masih berusia 4 tahun. Sementara, orangtuanya adalah petani kebun kopi.
“Dia terpaksa pergi ke Jakarta demi mengobati suaminya. Dia pergi hanya berbekal pakaian yang melekat di badannya. Tiba-tiba, ada parlente datang menemui Lony. Ternyata ia dijebak. Dua preman berbadan tegap tidak bisa dilawan. Dia akhirnya melacur. Dia hanya cerita banyak padaku dan aku janji padanya kalau dapat honor akan bayar dia untuk pulang kampung dan membuka usaha kecil,” urainya.
Meski, pada akhirnya saat kembali ke kampung halaman, suami Lony telah tiada. Namun, uang dari Gombloh dapat ia gunakan untuk memulai hidup baru. Berbekal kisah itu, Gombloh melukiskan lirik lagu di secarik kertas yang kini akrab dijuduli "Loni, Pelacur & Pelacurku".
Kepedulian Gombloh kepada kaum minor yang dipinggirkan keadaan, mutlak menaklukkan gengsi "ngartis" yang jamak di dunia hiburan. Ia sama sekali tidak peduli apa itu namanya eksistensi, popularitas. Ia tidak kenal nama baik, image, citra. Yang Gombloh pedulikan memanusiakan manusia.
“Kenanglah aku sebagai pencetus Revolusi Cinta dari Surabaya. Panggil aku Gombloh,” tandasnya.
Baca juga
Inggit Ganarsih, Sosok Penting di Hidup Soekarno
Gombloh menutup usia pada 9 Januari 1988 karena TBC yang ia derita. Ia dimakamkan di TPU Tembok Gede, Surabaya. Rasa kehilangan itu tak hanya dirasakan keluarga, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia, khususnya warga Surabaya.
“Panggil Aku Gombloh” merupakan produksi ke-56 Titimangsa yang digelar dengan penonton terbatas di gedung Kesenian Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam pementasan ini, sosok Gombloh diperankan Wanggi Hoediyatno dan disutradarai oleh Joind Bayuwinanda.
Joind mengaku dirinya terenyuh dengan sosok Gombloh karena memiliki cita-cita untuk menghapuskan semua prostitusi yang ada di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.
“Itu sesuatu yang absurd, tapi Gombloh mencoba. Uang hasil konsernya banyak digunakan untuk membantu keuangan pelacur di Surabaya. Tindakan itu sangat mengharukan,” jelasnya.
Ia mengaku terdapat banyak bagian kisah menarik dari kehidupan Gombloh, namun seluruh cerita tersebut tidak dapat ditampung dalam pertunjukan yang berdurasi kurang dari satu jam.
Oleh sebab itu, ia berusaha untuk memadatkan cerita dengan menonjolkan sisi idealisme dan nasionalisme Gombloh. Dalam proses meramu cerita, ia mengatakan dirinya selalu berdiskusi dan meriset bersama dengan penulis naskah Guruh Dimas Nugraha–yang sebelumnya telah menulis buku "Gombloh: Revolusi Cinta Dari Surabaya".
"Kami mengakumulasi dari semua peristiwa yang paling kira-kira fenomenal untuk Gombloh. Peristiwa hidup Gombloh dalam monolog dibagi menjadi tiga latar, yakni di rumah, di Balai Pemuda, dan lokalisasi,” tambahnya.
Sebagai seniman pantomim, Wanggi mengaku "Panggil Aku Gombloh" menjadi pementasan teater pertamanya untuk kembali mengeluarkan vokal sejak sekitar 15 tahun terakhir. Oleh sebab itu, olah vokal menjadi salah satu tantangan yang ia hadapi selama berlatih.
Tantangan lainnya adalah menyelaraskan visi sutradara dan asisten sutradara agar menciptakan adegan yang mumpuni. Ia menuturkan, dirinya mencoba untuk merawat ingatan mengenai sosok Gombloh mulai dari latar belakang hidup hingga pemikirannya.
"Pada akhirnya kita semua seperti merawat karya-karyanya (seperti) yang tadi kita dengarkan. Ide-idenya, pemikirannya," pungkas Wanggi.
Foto Edwin Budiarso