Restoran Yang “Selalu Salah”
Meskipun pesanan yang diantarkan di restoran ini seringkali salah, tetapi justru membawa senyum para pelanggannya.
Di Tokyo, ada kisah unik tentang sebuah restoran yang para pelanggannya justru senang jika makanan yang diantarkannya salah. Misalnya, meja nomor 1 yang memesan pangsit, malah mendapatkan sup miso. Begitu pula meja nomor 2 yang berharap menikmati ikan panggang, namun justru yang diantarkan sushi. Seorang pelayan wanita lanjut usia berkata, “Maaf, saya mendengar pesanan Anda tapi saya lupa.” Untung, tak seorang pun marah padanya. Pelanggan tidak hanya menerima, tetapi juga menghargai jika pesanan mereka tercampur aduk.
Sebuah gambaran yang mungkin terdengar aneh, tetapi menjadi rutinitas yang biasa di restoran ini. Sebenarnya, ini bukanlah sesuatu yang harus disalahkan. Hanya 37% jumlah kesalahan yang terjadi. Di balik kelalaian tersebut, terdapat cerita yang jauh lebih dalam. Para pelayan dan staf restoran yang melayani pelanggan sebetulnya menghadapi tantangan luar biasa. Mereka semua mengidap demensia, sebuah kondisi yang memengaruhi daya ingat dan kemampuan kognitif.
Meskipun mungkin terdengar tidak lazim, di restoran ini, demensia bukanlah suatu kelemahan. Malah, hal itu menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika pekerjaan mereka. Para pelayan yang mungkin lupa akan pesanan atau bingung akan detail-detail tertentu justru membawa nuansa tersendiri dalam pengalaman bersantap di sini. Sebab, dalam suasana penuh toleransi itulah pelanggan bisa merasakan kebahagiaan sederhana dari kesalahan yang tidak disengaja.
Tingginya Demensia
Dua dari tiga warga Jepang yang mengidap demensia tinggal di rumah, dan risiko isolasi terus mengintai mereka. Meskipun demikian, mereka memperlihatkan sikap yang positif dengan menyatakan, “daripada menerima bantuan, saya ingin bekerja, menjadi berguna bagi komunitas.” Mendukung semangat itu, sebuah restoran pop-up hadir sebagai tempat mereka untuk berkontribusi.
Destinasi kuliner yang tak lazim ini bernama “Restoran of Mistaken Order.” Keluar dari norma restoran konvensional, tempat ini sengaja membuka pintu bagi kesalahan dalam pemesanan dan pengantaran, tapi tanpa bermaksud mengeksploitasi. Namun, apa yang membuatnya istimewa adalah kehangatan yang terpancar dari staf pelayan yang bekerja dengan penuh totalitas dan kasih sayang.
Sebagaimana dilansir Forbes, kisah menarik ini dimulai ketika Shiro Oguni founder restoran, yang seorang produser televisi untuk NHK, outlet berita terkemuka di Jepang, melakukan liputan di rumah kelompok yang dijalankan oleh Yukio Wada. Melalui pengalamannya tersebut, Oguni merasakan sentuhan kemanusiaan di balik diagnosis medis, menyadari bahwa orang dengan masalah ingatan masih memiliki kapasitas untuk melakukan banyak tugas untuk diri mereka sendiri dan orang lain.
Inspirasi untuk mendirikan restoran ini muncul ketika Oguni mendapatkan hidangan pangsit gyoza alih-alih steak hamburger yang dipesannya. Awalnya, ia merasa ingin protes, tetapi ia justru melihat teman-temannya menikmati hidangan mereka dengan penuh sukacita. Momen tersebut membuka matanya bahwa menerima situasi adalah pilihan yang jauh lebih baik. Setelah berhenti dari produksi televisi, ia kemudian menghubungi Wada untuk mempertimbangkan ide restoran yang tak biasa ini. Bersama-sama, mereka merancang visi untuk tempat makan di mana seluruh staf pelayan adalah individu dengan masalah ingatan.
Kisah Toleransi
Dalam wawancara dengan The Big Issue Japan, Ogun menjelaskan alasan. “Kami ingin menciptakan tempat bagi pelanggan merasakan kelezatan dan keceriaan, dengan orang-orang dengan demensia yang bekerja di sana. Jadi, seperti tempat terjadinya interaksi spontan dengan pengidap demensia. Di restoran kami, kami berusaha memahami dan mendukung individu yang hidup dengan demensia,” ungkap Shiro Oguni dengan tulus. “Bagi kami, bukanlah sekadar soal makanan yang tiba tepat waktu atau pesanan yang benar. Yang kami utamakan adalah memberikan pengalaman yang berarti bagi semua pihak yang terlibat.”
Inisiatif seperti ini tidak hanya memberikan peluang bagi orang-orang dengan demensia untuk tetap aktif dan terlibat dalam kegiatan sehari-hari, tetapi juga membantu mengubah pandangan masyarakat terhadap tantangan yang mereka hadapi. Dengan pendekatan ini, restoran itu pun menjadi lebih dari sekadar tempat makan biasa. Ia menjadi simbol inklusi dan empati dalam komunitas masyarakat.
"Restaurant of Mistaken Order” bukanlah sekadar restoran tujuan untuk menikmati makan, melainkan juga tempat yang menggugah pengalaman emosional menyentuh hati. Konsepnya yang unik membangun jembatan antara pemesan dan pelayan, sambil mengajarkan tentang pemakluman dan kehangatan dalam menghadapi kesalahan hidup. ❏