Takako Leen: Living the Dance Floor
Naskah: Andi Nursaful, Foto: Dok. MO/EKI Dance Company
Dua dasawarsa lebih kau terjun ke dunia penuh liuk dan gemulai. Kau pilih jalan hidupmu di dunia kecil itu. Kau serahkan jiwamu pada lantai tari.
Kau tinggalkan hatimu di panggung dansa. Total, pada setiap tarikan nafas, denyut nadi. Menyatu, utuh. Lalu masihkah ada ruang tersisa bagi laki-laki di relung hatimu, Ta..?
Stage One: Born to Dance
Ya, kau memang terlahir untuk menari. Entah dari mana darah seni itu kau peroleh. Sebab, sang ayah yang misionaris itu, ataupun ibumu yang asli dari Negeri Matahari Terbit, sebetulnya tak berasal dari dunia itu.
Yang pasti, katamu, sejak kecil kau memang sudah senang meliuk-liukkan tubuhmu yang mungil. Meskipun, pada dasarnya kaulah si kecil tomboy yang suka main layangan dan naik ke genteng rumah. “Kata mama sih, meskipun tomboy, dari kecil aku memang sudah senang bergaya-gaya genit gitu deh!”
Maka kau pun diantar ke pintu rumah sebuah sanggar tari Bali di kawasan Jalan Lembang, Jakarta Pusat, pada usiamu yang masih sangat belia, tujuh tahun.
Itulah pintu menuju dunia yang kini kau tekuni dan tak keluar lagi, entah sampai kapan. Episode hidup masa kecilmu selanjutnya, hanya diisi tari dan tari. Tradisional, modern, balet, hingga kontemporer. “Balet pertama kali diperkenalkan Papa lewat Laser Disc. Aku langsung jatuh cinta. Kebetulan Papa ikut Marching Band dan pelatihnya itu, Rudy Rukmarata, punya sanggar balet. Aku ikut di situ sampai SMA, umur 19 tahun,” kenangmu.
Hmm, kucoba bayangkan masa remajamu hanya berhias lantai dansa dan panggung tari. Tapi, katamu lagi, kau tetap seperti remaja urban lainnya. Anak gaul yang senang ke diskotik, nonton konser musik, main ke mal, atau sekadar kongkow dengan karib-karibmu. Bahkan di sekolah kau tergolong murid pandai yang jago matematika. “Untungnya aku punya hobi menari dan punya orang tua yang kuat, sehingga nggak terjerumus ke dunia narkoba seperti beberapa temanku,” tuturmu.
Sebuah perjalanan ke wilayah pelosok bersama sang ayah akhirnya membuka matamu bahwa dunia tak hanya berisi glamoritas dan hedonisme. Sejak itu, kau bulatkan tekadmu untuk kelak menjadi sebuah pribadi yang memiliki sesuatu untuk dibanggakan ketimbang sekadar ‘asesoris’ fana.
Stage Two: Living in the Dance Floor
Kini, setelah dua puluh tahun kau masuki pintu ke dunia tari, kau semakin mantap bahwa di situlah tempatmu. Katamu sudah merasa aman, nyaman dan bahagia dengan pilihan hidup itu. Kebingunganmu yang dulu, mau meneruskan sekolah dan merintis karir di dunia bekerja kantoran, kini tak lagi tersisa.
Tapi ungkapkan padaku Ta…, apa magnet begitu yang menyeretmu memilih jalur itu? Yakinkah kau bahwa dunia itu akan mampu menghidupimu kelak? “Iya, sebelumnya, aku menari hanya sekadar hobi aja. Sebelum bergabung dengan EKI Dance Company, aku masih nari kayak penari-penari latar di TV-TV itu. Bukan penari teater atau musikal. Tapi setelah di EKI, aku benar-benar memahami bahwa tari adalah sebuah art,” akumu.
Persinggunganmu dengan seniman-seniman idealis seperti Sujiwo Tedjo, atau Sitok Srengenge, sekali lagi membuka mata hatimu bahwa dunia tari bukan sekadar pertunjukan komersial, tak hanya konsumsi bagi mata-mata penikmat liuk tubuh. Terlebih, ayahmu pernah berpesan agar perempuan harus punya skills, agar tidak pernah tergantung pada laki-laki. “Papa tuh nggak pernah bilang nariku bagus. Itu membuat aku terus tertantang. Papa baru memuji tarianku sebulan sebelum Papa meninggal. Dan Papa berpesan agar aku tidak pernah berhenti menari…”
Bagimu, menari tak lagi dengan raga, tapi jiwa. Gerakan tubuh hanyalah sepenggal ekspresi yang menyatu dengan keseluruhan skenario. Kau leburkan jiwamu dengan tokoh Ken Dedes, atau Nyai Dasima, yang kau perankan di pentas. Sensualitas tubuh di balik kostum tipis, dan gemulai gerakmu di pangung-panggung itu, lebih mewujud sebagai sebuah keindahan yang utuh.
Buktinya, tak sedikit penonton yang datang menghampirimu di belakang panggung untuk sekadar menunjukkan apresiasi mendalam. “Banyak lho ibu-ibu berjilbab yang kasih selamat di belakang panggung, padahal aku pakai bajunya yang minim-minim gitu,” ungkapmu. Aku tahu, Ta…, mereka memang tak lagi menonton ‘ketelanjanganmu’. Mereka melebur dengan tokoh yang kau perankan, dengan keindahan gerak yang kau suguhkan. “Kalau harus terlahir kembali, aku ingin lebih awal mengenal tari sebagai karya seni. Aku juga ingin belajar musik sejak kecil…”
Stage Three: Acting Like a Pig, Living with Dogs
Kini ceritakan padaku seperti apa sebetulnya jati dirimu di balik kostum tipis dan gerak indah itu, Ta…! Seperti apa sebenarnya pribadimu? “Aku tuh lebih seperti binatang babi! Terlihat kalem, tapi tiba-tiba bisa panik. Cuma, aku tuh baik hati dan tidak pemaaf, ha ha ha..! Tapi, bener, teman-teman bilang begitu kok…! Aku memang nggak bisa musuhan lama-lama sama orang. Aku bukan pemarah, tapi judes… ha ha ha!” Cuma, jujur kau akui juga, kau adalah pribadi yang suka mengasihani diri dan terkadang gengsi dan tak mau mengakui sesuatu.
Lantas apa yang membuatmu begitu suka membaca novel chick-lit terbitan Inggris atau Irlandia, Ta..? Bukankah karya “sastra wangi” seperti itu dianggap tak lebih dari kisah cengeng dan melankolik? Tapi, katamu, chick-lit asal negeri Eropa itu tak seperti karya-karya di Indonesia. “Di sana ceritanya nggak cengeng, cewek-ceweknya tegar. Tapi sebetulnya aku suka semua bacaan. Terutama penokohan yang kuat dari tokoh-tokoh wanitanya,’ tuturmu.
Hmm, tak heran jika selera musikmu pun bukan kategori yang terlalu ‘cengeng’ seperti anggapanmu. Kau gandrung pada musik latin jazz atau old fashion jazz ala Frank Sinantra. “Pokoknya asal tidak terlalu berat seperti fussion, tapi yang sedikit easy listening seperti Ella Fitzgerald atau Laura Figgy,” katamu lagi.
Tapi aku tahu kenapa kini kau tak lagi menekuni berbagai olah raga, terutama berenang yang dulu sangat kau senangi. Bukan lantaran menari itu sendiri adalah olah raga, tapi olah raga memang bisa membuatmu cedera sehingga akan mengganggu profesimu sebagai penari. “Benar, jogging, dan fitness aja nggak boleh. Bahkan berenang sebetulnya tidak boleh karena akan membuat bahu penari jadi kekar. Makanya, selain nari dan baca, sehari-hari aku cuma ngurusin anjing-anjing di rumah…”
Ahh, ternyata kau begitu mencintai anjing, Taa…! Buktinya, kau luangkan waktu untuk mengurus sampai delapan ekor anjing mahal jenis dalmatians, greatdane, yorkshare, hingga english sheep dog. “Bukan aku sendiri sih yang ngurus, karena di asrama EKI tempat aku tinggal, kan banyak teman-teman yang ikut ngurus, ha ha ha!”
Stage Four: Orgasm on the Stage
Terus terang, Ta, rasanya aku pun ingin tertawa saat kau mendeskripsikan dengan klise apa arti cinta. Cinta yang kau pahami, seperti pemahaman di buku-buku sastra. Seperti katamu, satu-satunya cinta yang kau mengerti adalah cinta seperti ibu kepada anaknya. Maka, bila kau benar-benar mencintai seseorang, kau akan mencintai keseluruhan dirinya, menyerahkan keseluruhan jiwa ragamumu, tanpa sedikit pun berharap balas.
Aah, tidakkah itu terlalu naif dan tak membumi, Ta…? “Makanya aku belum pernah merasakan cinta seperti itu, ha ha ha!” gelakmu kembali lepas. Ya, aku mahfum. Tentu tak banyak laki-laki yang bersedia menjadi ‘suami’ keduamu setelah panggung dan tari. “Apalagi kalau aku sedang terlibat penggarapan sebuah pementasan. Biasanya aku mengabaikan cowokku dan lebih mementingkan profesiku. Sampai-sampai aku pernah didamprat sama istri tokoh pasanganku di panggung, karena kita sudah seperti orang pacaran aja dalam menjiwai karakter… ha ha ha!”
Tapi, jujur saja, aku cukup surprise dengan penyikapanmu yang tak terlalu mengharapkan seorang laki-laki setia. Bagimu, yang penting dia berkomitmen akan tetap bersama. “Sebab, aku tahu laki-laki itu tidak pernah mampu menutup dirinya terhadap godaan untuk naksir wanita lain. Aku aja yang perempuan, kalau lihat laki-laki tak bisa menahan perasaan untuk mengagumi. Kalau pacar aku memang senang sama cewek lain, silakan pilih. Asal jangan ‘bermain’ di belakang aku. Kalau dia suamiku, silakan kalau suka wanita lain, asal tetap berkomitmen dengan istri dan anaknya.”
Kau pun mengakui, sempat mengalami situasi dilema, apakah memilih hidup ‘normal’ seperti wanita umumnya yang menikah, punya anak, dan mengurus rumah tangga, atau tetap mengejar obsesimu sambil menunggu arjunamu datang. “Dulu sempat aku berpikir jadi single parent dengan mengadopsi anak. Tapi sekarang sih aku cuek, nggak terlalu mikirin lagi. Aku kini lebih fokus pada profesiku, bahkan sampai 10 tahun lagi. Tentu aku masih mengharapkan kelak punya keluarga yang bahagia…”
Tak perlu kau jelaskan lagi bagaimana kau kendalikan hasratmu di usia biologismu yang begitu matang kini. Aku tahu, kegiatanmu saat ini benar-benar telah menghabiskan hari-harimu, hingga hasrat semacam itu hanya tertumpah menjadi emosi dan energi dalam setiap latihan dan pementasan-pementasanmu. Aku yakin, latihan atau menari dengan segenap penjiwaanmu, mampu membuatmu layaknya orgasme…!
Stage Five: Obsessing Go International
Entah kenapa, Ta…, di balik derai tawa dan keceriaanmu yang lepas itu, aku merasa kau masih menyimpan sebuah kegundahan. Ungkapkan padaku apa yang kau rasa! Bukankah tadi kau sudah merasa bahagia dengan hidupmu kini? “Terus terang, aku sedih karena dunia tari masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita,” sebutmu.
Bagimu, publik dalam negeri masih juga belum mampu mengapresiasi tari dalam bungkus seni. Bagi kebanyakan mereka, penari belum menjadi profesi terhormat yang patut dihargai. Padahal, setahumu, di negeri-negeri yang sudah maju, profesi penari tergolong mahal dan tak semua orang bisa menggelutinya. “Buktinya, Nicole Kidman, Jennifer Lopez, hingga Lady Di, sebetulnya pernah berobsesi jadi penari tapi ditolak karena berbagai alasan, antara lain soal fisik,” ungkapmu.
Kau pun berobsesi kelak ada sebuah ajang penghargaan semacam Tony Award di Indonesia, yang memberikan apresisasi pada insan-insan panggung, temasuk para penari teater musikal dan koreografer profesional. “Aku juga ingin publik luar negeri tak hanya mengapresiasi tarian tradisional Indonesia. Itu sudah jelas karena mereka nggak bisa menari tradisional seperti kita. Aku mau mereka melihat bahwa Indonesia juga punya penari-penari modern dan kontemporer bagus di teater…!”
Aku percaya, Ta…, waktu akan berpihak padamu. Kelak, apresiasi yang kau peroleh tak lagi di belakang panggung. Tapi tepat di tengah-tengah panggung penghargaan bergengsi. Entah bagaimana, aku hanya percaya saja…
Tatagrafi
Nama Lengkap Takako Leen Nama Panggilan Tata Lahir Jakarta, 7 Januari 1972 Profesi penari utama EKI Dance Company Karakter yang pernah diperankan Miss Kadaluarsa, Madame Dasima, Narcissi
Artikel ini dimuat pada majalah Men's Obsession edisi Desember 2005
Dua dasawarsa lebih kau terjun ke dunia penuh liuk dan gemulai. Kau pilih jalan hidupmu di dunia kecil itu. Kau serahkan jiwamu pada lantai tari.
Kau tinggalkan hatimu di panggung dansa. Total, pada setiap tarikan nafas, denyut nadi. Menyatu, utuh. Lalu masihkah ada ruang tersisa bagi laki-laki di relung hatimu, Ta..?
Stage One: Born to Dance
Ya, kau memang terlahir untuk menari. Entah dari mana darah seni itu kau peroleh. Sebab, sang ayah yang misionaris itu, ataupun ibumu yang asli dari Negeri Matahari Terbit, sebetulnya tak berasal dari dunia itu.
Yang pasti, katamu, sejak kecil kau memang sudah senang meliuk-liukkan tubuhmu yang mungil. Meskipun, pada dasarnya kaulah si kecil tomboy yang suka main layangan dan naik ke genteng rumah. “Kata mama sih, meskipun tomboy, dari kecil aku memang sudah senang bergaya-gaya genit gitu deh!”
Maka kau pun diantar ke pintu rumah sebuah sanggar tari Bali di kawasan Jalan Lembang, Jakarta Pusat, pada usiamu yang masih sangat belia, tujuh tahun.
Itulah pintu menuju dunia yang kini kau tekuni dan tak keluar lagi, entah sampai kapan. Episode hidup masa kecilmu selanjutnya, hanya diisi tari dan tari. Tradisional, modern, balet, hingga kontemporer. “Balet pertama kali diperkenalkan Papa lewat Laser Disc. Aku langsung jatuh cinta. Kebetulan Papa ikut Marching Band dan pelatihnya itu, Rudy Rukmarata, punya sanggar balet. Aku ikut di situ sampai SMA, umur 19 tahun,” kenangmu.
Hmm, kucoba bayangkan masa remajamu hanya berhias lantai dansa dan panggung tari. Tapi, katamu lagi, kau tetap seperti remaja urban lainnya. Anak gaul yang senang ke diskotik, nonton konser musik, main ke mal, atau sekadar kongkow dengan karib-karibmu. Bahkan di sekolah kau tergolong murid pandai yang jago matematika. “Untungnya aku punya hobi menari dan punya orang tua yang kuat, sehingga nggak terjerumus ke dunia narkoba seperti beberapa temanku,” tuturmu.
Sebuah perjalanan ke wilayah pelosok bersama sang ayah akhirnya membuka matamu bahwa dunia tak hanya berisi glamoritas dan hedonisme. Sejak itu, kau bulatkan tekadmu untuk kelak menjadi sebuah pribadi yang memiliki sesuatu untuk dibanggakan ketimbang sekadar ‘asesoris’ fana.
Stage Two: Living in the Dance Floor
Kini, setelah dua puluh tahun kau masuki pintu ke dunia tari, kau semakin mantap bahwa di situlah tempatmu. Katamu sudah merasa aman, nyaman dan bahagia dengan pilihan hidup itu. Kebingunganmu yang dulu, mau meneruskan sekolah dan merintis karir di dunia bekerja kantoran, kini tak lagi tersisa.
Tapi ungkapkan padaku Ta…, apa magnet begitu yang menyeretmu memilih jalur itu? Yakinkah kau bahwa dunia itu akan mampu menghidupimu kelak? “Iya, sebelumnya, aku menari hanya sekadar hobi aja. Sebelum bergabung dengan EKI Dance Company, aku masih nari kayak penari-penari latar di TV-TV itu. Bukan penari teater atau musikal. Tapi setelah di EKI, aku benar-benar memahami bahwa tari adalah sebuah art,” akumu.
Persinggunganmu dengan seniman-seniman idealis seperti Sujiwo Tedjo, atau Sitok Srengenge, sekali lagi membuka mata hatimu bahwa dunia tari bukan sekadar pertunjukan komersial, tak hanya konsumsi bagi mata-mata penikmat liuk tubuh. Terlebih, ayahmu pernah berpesan agar perempuan harus punya skills, agar tidak pernah tergantung pada laki-laki. “Papa tuh nggak pernah bilang nariku bagus. Itu membuat aku terus tertantang. Papa baru memuji tarianku sebulan sebelum Papa meninggal. Dan Papa berpesan agar aku tidak pernah berhenti menari…”
Bagimu, menari tak lagi dengan raga, tapi jiwa. Gerakan tubuh hanyalah sepenggal ekspresi yang menyatu dengan keseluruhan skenario. Kau leburkan jiwamu dengan tokoh Ken Dedes, atau Nyai Dasima, yang kau perankan di pentas. Sensualitas tubuh di balik kostum tipis, dan gemulai gerakmu di pangung-panggung itu, lebih mewujud sebagai sebuah keindahan yang utuh.
Buktinya, tak sedikit penonton yang datang menghampirimu di belakang panggung untuk sekadar menunjukkan apresiasi mendalam. “Banyak lho ibu-ibu berjilbab yang kasih selamat di belakang panggung, padahal aku pakai bajunya yang minim-minim gitu,” ungkapmu. Aku tahu, Ta…, mereka memang tak lagi menonton ‘ketelanjanganmu’. Mereka melebur dengan tokoh yang kau perankan, dengan keindahan gerak yang kau suguhkan. “Kalau harus terlahir kembali, aku ingin lebih awal mengenal tari sebagai karya seni. Aku juga ingin belajar musik sejak kecil…”
Stage Three: Acting Like a Pig, Living with Dogs
Kini ceritakan padaku seperti apa sebetulnya jati dirimu di balik kostum tipis dan gerak indah itu, Ta…! Seperti apa sebenarnya pribadimu? “Aku tuh lebih seperti binatang babi! Terlihat kalem, tapi tiba-tiba bisa panik. Cuma, aku tuh baik hati dan tidak pemaaf, ha ha ha..! Tapi, bener, teman-teman bilang begitu kok…! Aku memang nggak bisa musuhan lama-lama sama orang. Aku bukan pemarah, tapi judes… ha ha ha!” Cuma, jujur kau akui juga, kau adalah pribadi yang suka mengasihani diri dan terkadang gengsi dan tak mau mengakui sesuatu.
Lantas apa yang membuatmu begitu suka membaca novel chick-lit terbitan Inggris atau Irlandia, Ta..? Bukankah karya “sastra wangi” seperti itu dianggap tak lebih dari kisah cengeng dan melankolik? Tapi, katamu, chick-lit asal negeri Eropa itu tak seperti karya-karya di Indonesia. “Di sana ceritanya nggak cengeng, cewek-ceweknya tegar. Tapi sebetulnya aku suka semua bacaan. Terutama penokohan yang kuat dari tokoh-tokoh wanitanya,’ tuturmu.
Hmm, tak heran jika selera musikmu pun bukan kategori yang terlalu ‘cengeng’ seperti anggapanmu. Kau gandrung pada musik latin jazz atau old fashion jazz ala Frank Sinantra. “Pokoknya asal tidak terlalu berat seperti fussion, tapi yang sedikit easy listening seperti Ella Fitzgerald atau Laura Figgy,” katamu lagi.
Tapi aku tahu kenapa kini kau tak lagi menekuni berbagai olah raga, terutama berenang yang dulu sangat kau senangi. Bukan lantaran menari itu sendiri adalah olah raga, tapi olah raga memang bisa membuatmu cedera sehingga akan mengganggu profesimu sebagai penari. “Benar, jogging, dan fitness aja nggak boleh. Bahkan berenang sebetulnya tidak boleh karena akan membuat bahu penari jadi kekar. Makanya, selain nari dan baca, sehari-hari aku cuma ngurusin anjing-anjing di rumah…”
Ahh, ternyata kau begitu mencintai anjing, Taa…! Buktinya, kau luangkan waktu untuk mengurus sampai delapan ekor anjing mahal jenis dalmatians, greatdane, yorkshare, hingga english sheep dog. “Bukan aku sendiri sih yang ngurus, karena di asrama EKI tempat aku tinggal, kan banyak teman-teman yang ikut ngurus, ha ha ha!”
Stage Four: Orgasm on the Stage
Terus terang, Ta, rasanya aku pun ingin tertawa saat kau mendeskripsikan dengan klise apa arti cinta. Cinta yang kau pahami, seperti pemahaman di buku-buku sastra. Seperti katamu, satu-satunya cinta yang kau mengerti adalah cinta seperti ibu kepada anaknya. Maka, bila kau benar-benar mencintai seseorang, kau akan mencintai keseluruhan dirinya, menyerahkan keseluruhan jiwa ragamumu, tanpa sedikit pun berharap balas.
Aah, tidakkah itu terlalu naif dan tak membumi, Ta…? “Makanya aku belum pernah merasakan cinta seperti itu, ha ha ha!” gelakmu kembali lepas. Ya, aku mahfum. Tentu tak banyak laki-laki yang bersedia menjadi ‘suami’ keduamu setelah panggung dan tari. “Apalagi kalau aku sedang terlibat penggarapan sebuah pementasan. Biasanya aku mengabaikan cowokku dan lebih mementingkan profesiku. Sampai-sampai aku pernah didamprat sama istri tokoh pasanganku di panggung, karena kita sudah seperti orang pacaran aja dalam menjiwai karakter… ha ha ha!”
Tapi, jujur saja, aku cukup surprise dengan penyikapanmu yang tak terlalu mengharapkan seorang laki-laki setia. Bagimu, yang penting dia berkomitmen akan tetap bersama. “Sebab, aku tahu laki-laki itu tidak pernah mampu menutup dirinya terhadap godaan untuk naksir wanita lain. Aku aja yang perempuan, kalau lihat laki-laki tak bisa menahan perasaan untuk mengagumi. Kalau pacar aku memang senang sama cewek lain, silakan pilih. Asal jangan ‘bermain’ di belakang aku. Kalau dia suamiku, silakan kalau suka wanita lain, asal tetap berkomitmen dengan istri dan anaknya.”
Kau pun mengakui, sempat mengalami situasi dilema, apakah memilih hidup ‘normal’ seperti wanita umumnya yang menikah, punya anak, dan mengurus rumah tangga, atau tetap mengejar obsesimu sambil menunggu arjunamu datang. “Dulu sempat aku berpikir jadi single parent dengan mengadopsi anak. Tapi sekarang sih aku cuek, nggak terlalu mikirin lagi. Aku kini lebih fokus pada profesiku, bahkan sampai 10 tahun lagi. Tentu aku masih mengharapkan kelak punya keluarga yang bahagia…”
Tak perlu kau jelaskan lagi bagaimana kau kendalikan hasratmu di usia biologismu yang begitu matang kini. Aku tahu, kegiatanmu saat ini benar-benar telah menghabiskan hari-harimu, hingga hasrat semacam itu hanya tertumpah menjadi emosi dan energi dalam setiap latihan dan pementasan-pementasanmu. Aku yakin, latihan atau menari dengan segenap penjiwaanmu, mampu membuatmu layaknya orgasme…!
Stage Five: Obsessing Go International
Entah kenapa, Ta…, di balik derai tawa dan keceriaanmu yang lepas itu, aku merasa kau masih menyimpan sebuah kegundahan. Ungkapkan padaku apa yang kau rasa! Bukankah tadi kau sudah merasa bahagia dengan hidupmu kini? “Terus terang, aku sedih karena dunia tari masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita,” sebutmu.
Bagimu, publik dalam negeri masih juga belum mampu mengapresiasi tari dalam bungkus seni. Bagi kebanyakan mereka, penari belum menjadi profesi terhormat yang patut dihargai. Padahal, setahumu, di negeri-negeri yang sudah maju, profesi penari tergolong mahal dan tak semua orang bisa menggelutinya. “Buktinya, Nicole Kidman, Jennifer Lopez, hingga Lady Di, sebetulnya pernah berobsesi jadi penari tapi ditolak karena berbagai alasan, antara lain soal fisik,” ungkapmu.
Kau pun berobsesi kelak ada sebuah ajang penghargaan semacam Tony Award di Indonesia, yang memberikan apresisasi pada insan-insan panggung, temasuk para penari teater musikal dan koreografer profesional. “Aku juga ingin publik luar negeri tak hanya mengapresiasi tarian tradisional Indonesia. Itu sudah jelas karena mereka nggak bisa menari tradisional seperti kita. Aku mau mereka melihat bahwa Indonesia juga punya penari-penari modern dan kontemporer bagus di teater…!”
Aku percaya, Ta…, waktu akan berpihak padamu. Kelak, apresiasi yang kau peroleh tak lagi di belakang panggung. Tapi tepat di tengah-tengah panggung penghargaan bergengsi. Entah bagaimana, aku hanya percaya saja…
Tatagrafi
Nama Lengkap Takako Leen Nama Panggilan Tata Lahir Jakarta, 7 Januari 1972 Profesi penari utama EKI Dance Company Karakter yang pernah diperankan Miss Kadaluarsa, Madame Dasima, Narcissi
Artikel ini dimuat pada majalah Men's Obsession edisi Desember 2005