Pilpres Negara Lain yang Mirip Pilpres Indonesia
Naskah: Andi Nursaiful/berbagai sumber, Foto: Istimewa/Dok.MO
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 di Tanah Air bukan satu-satunya pilpres yang berlangsung ketat pada 2014 ini. Di sejumlah negara di belahan dunia lain, sejumlah kandidat presiden berhasil menang dengan selisih suara yang juga sangat tipis.
Beberapa ajang pilpres yang kami utarakan di sini bahkan memiliki banyak kemiripan dengan proses, peristiwa, maupun perolehan suara Pilpres 2014 di Indonesia.
Seperti kita ketahui, hasil rekapitulasi suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan calon presiden/wapres Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014. Mereka memperoleh 70.997.833 suara atau 53,15 persen. Sementara pesaingnya, pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 62.576.444 suara atau 46,85 persen.
Di bawah ini adalah hasil Pilpres di sejumlah negara yang berlangsung hingga pertengahan tahun 2014. Semuanya memiliki kemiripan proses, peristiwa, dan hasil seperti di Indonesia.
Pilpres Slovakia: Sosok Presiden Terpilih Mirip Jokowi
Politikus ‘anak kemaren sore’ Andrej Kiska yang sangat minim pengalaman politik berhasil memenangi Pilpres, di Slovakia, negara bekas pecahan Cekoslavakia, Maret 2014 lalu. Seperti Jokowi, Kiska juga tidak datang dari partai politik, melainkan berlatar belakang pengusaha yang pengalaman politiknya sangat jomplang dengan kandidat lawannya.
Kiska berhasil unggul terhadap kandidat kuat incumbent yang menjabat perdana menteri, Robert Fico (Partai Sosial Demokrat) yang beraliran kiri/komunis. Pada Pilpres secara langsung, Kiska meraih suara mayoritas 59,38 persen pada putaran kedua dan mengantarnya ke kursi presiden.
Pada putaran pertama yang diikuti 14 kandidat, Fico unggul dengan perolehan suara 28,0 persen, sementara Kiska di urutan kedua dengan 24,1 persen.
Persamaan lainnya dengan Jokowi, pria berusia 51 tahun ini adalah presiden pertama di Slovakia sejak kemerdekaan pada 1993, yang tidak memiliki sejarah masa lalu dengan partai komunis. Sementara Jokowi tercatat sebagai presiden yang tidak memiliki kaitan dengan masa lalu Orde Baru.
Pencapaian Kiska tergolong fenomenal. Fico adalah jagoan dari Partai Sosial Demokrat (PSD) yang menguasai parlemen dan hampir seluruh posisi penting pemerintahan Slovakia. Fico sudah disiapkan oleh PSD sejak lama untuk menggantikan Ivan Gasparovic yang habis masa jabatannya setelah menjadi presiden dalam dua masa bakti.
Sebagaimana Jokowi, serangan bertubi-tubi juga harus diterima oleh Kiska selama masa kampanye. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik, Fico dan PSD menyebarkan rumor jika Kiska adalah seorang penganut Scientology, paham yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai Tuhannya. Kampanye itu tak banyak melukai popularitasnya.
Kiska juga dituduh bagian dari blok politik sayap kanan yang korup. Presiden Perancis, Francois Hollande, bahkan ikut-ikutan mendukung Fico untuk mengurangi popularitas Kiska yang melejit.
Pilpres Afghanistan: Kisruh Penghitungan Ulang
Komisi Independen Pemilu (IEC) Afghanistan, menetapkan calon presiden Ashraf Ghani
memenangi pilpres putaran kedua, 16 Juni 2014, dengan meraih 56,44 persen suara dari sekitar 8 juta pemilih. Sedangkan saingannya, Abdullah Abdullah menduduki posisi kedua dengan 43,56 persen.
Sebagaimana di Indonesia, hasil ini ditolak oleh calon yang kalah. Abdullah menolak hasil itu dengan tuduhan adanya kecurangan. Komisi Independen Pemilu (IEC) dan PBB pun memulai penyelidikan yang lebih luas sebelum hasil akhir dirilis.
Hingga hari Minggu, 3 Agustus 2014, upaya audit atas hasil perhitungan suara rupanya masih terkendala. Kedua kubu masih belum bersepakat tentang kriteria kecurangan.
Penghitungan ulang terkendala sebab keduanya tidak sepakat bagaimana menentukan keabsahan surat suara itu. Pada putaran pertama, Abdullah unggul di atas para pesaingnya, termasuk dari peringkat kedua Ashraf Ghani.
Pilpres El Salvador: Perolehan Suara Super Ketat
Mantan gerilyawan kiri El Salvador, Sanchez Ceren, tampil sebagai pemenang pemilihan presiden 9 Maret 2014. Mahkamah Pemilihan Tinggi mengkonfirmasi kemenangan tipis Sanchez Ceren atas pesaingnya, Norman Quijano, dari partai konservatif ARENA.
Sanchez Ceren, 69 tahun, yang berasal dari Farabundo Marti National Liberation Front (FMLN), menang dengan hasil akhir 50,11 berbanding 49,89 persen pada penghitungan ulang parsial. Hasil ini tergolong sangat ketat, sebagimana hasil Pilpres yang diumumkan KPU Indonesia pada 22 Juli 2014 lalu.
Selain perolehan suara yang ketat, ada peristiwa yang mirip dengan Pilpres di Indonesia. Pada minggu malam, hasil perhitungan sementara menunjukkan Ceren unggul tipis. Massa pendukung Ceren pun turun ke jalan guna merayakan kemenangan.
Quijano yang mengetahui dirinya hanya kalah tipis, melakukan manuver. Malam itu juga, ketika suara dari berbagai TPS baru masuk 70%, Quijano dan pemimpin partai ARENA ikut mengklaim kemenangan.
Meskipun Pengadilan Tinggi Pemilu El Salvador melarang para kandidat dan partai pendukungnya untuk saling klaim kemenangan sebelum proses penghitungan resmi selesai, keduanya mengabaikan larangan itu.
Ketika hasil akhir diumumkan pada Kamis (13/3), kubu Quijano memainkan skenario oposisi seperti di Venezuela, yaitu menolak mengakui hasil pemilu dan mendelegitimasi presiden terpilih.
Sebagai info, pasca meninggalnya Presiden Hugo Chavez, Venezuela menggelar pemilu ulang pada April 2013. Hasilnya, Nicolas Maduro, seorang Chavistas, berhasil menang tipis dalam pemilu tersebut. Maduro meraih suara 50,66%, sedangkan lawannya, Henrique Capriles Radonski, meraih suara 49.07 persen. Selisih suara mereka hanya 234 ribuan suara.
Dalam skenario oposisi di Venezuela, pihak oposisi langsung menggugat hasil pemilu, menuding ada kecurangan, dan mendesak penghitungan ulang 100%. Mereka juga mendorong pendukung mereka turun ke jalan dan melakukan aksi kekerasan. Ini dilaukan untuk mengundang intervensi dunia internasional.
Tak hanya itu, oposisi Venezuela juga menciptakan opini untuk meragukan independensi KPU-nya Venezuela, Dewan Pemilihan Nasional (CNE). Meskipun para pemantau pemilu internasional, termasuk mantan Presiden AS, Jimmy Carter, sudah menyatakan bahwa pemilu Venezuela berjalan sangat demokratis dan termasuk salah satu yang terbaik di dunia.
Skenario oposisi di Venezuela itu kemudian diadopsi oleh kubu Quijano, sayap kanan El Salvador. Begitu mengetahui pihaknya kalah, perwakilan partai ARENA meninggalkan proses penghitungan suara di KPU El Salvador.
Tak lama kemudian, Quijano berpidato bahwa kemenangan mereka dicuri seperti di Venezuela. Ia juga menyatakan bersiap “perang” untuk mempertahankan kemenangannya, dan meminta dunia internasional dan Angkatan Bersenjata El Salvador untuk mempertahankan demokrasi di El Salvador dari kecurangan.
Quijano mengklaim punya bukti tentang 20.000 pemilih yang dua kali menggunakan hak suaranya. Namun, ia tidak pernah membeberkan buktinya itu kepada media atau lembaga berwenang. Ia telah meminta organisasi negara-negara Amerika (OAS) untuk turun tangan memediasi perseteruan pemilu ini.
Yang menarik ditelusuri, ada keterkaitan antara aktor yang memainkan skenario oposisi di Venezuela dengan sayap kanan di El Salvador. Di sini muncul sosok bernama J.J. Rendón, seorang konsultan dan ahli strategi politik yang banyak bermain di berbagai pemilu presiden di Amerika Latin. Dia adalah kelahiran Venezuela, tetapi sangat menentang revolusi Bolivarian. Dia berkontribusi besar dalam menciptakan kekacauan pasca pemilu Venezuela.
Di El Salvador, JJ Rendon disewa oleh ARENA sebagai konsultan luar untuk membantu kampanye. Orang inilah yang dianggap punya andil untuk mendorong ARENA mengadopsi ‘skenario oposisi Venezuela’ untuk mengubah El Salvador menjadi ‘Venezuela berikutnya.’
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 di Tanah Air bukan satu-satunya pilpres yang berlangsung ketat pada 2014 ini. Di sejumlah negara di belahan dunia lain, sejumlah kandidat presiden berhasil menang dengan selisih suara yang juga sangat tipis.
Beberapa ajang pilpres yang kami utarakan di sini bahkan memiliki banyak kemiripan dengan proses, peristiwa, maupun perolehan suara Pilpres 2014 di Indonesia.
Seperti kita ketahui, hasil rekapitulasi suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan calon presiden/wapres Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014. Mereka memperoleh 70.997.833 suara atau 53,15 persen. Sementara pesaingnya, pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 62.576.444 suara atau 46,85 persen.
Di bawah ini adalah hasil Pilpres di sejumlah negara yang berlangsung hingga pertengahan tahun 2014. Semuanya memiliki kemiripan proses, peristiwa, dan hasil seperti di Indonesia.
Pilpres Slovakia: Sosok Presiden Terpilih Mirip Jokowi
Politikus ‘anak kemaren sore’ Andrej Kiska yang sangat minim pengalaman politik berhasil memenangi Pilpres, di Slovakia, negara bekas pecahan Cekoslavakia, Maret 2014 lalu. Seperti Jokowi, Kiska juga tidak datang dari partai politik, melainkan berlatar belakang pengusaha yang pengalaman politiknya sangat jomplang dengan kandidat lawannya.
Kiska berhasil unggul terhadap kandidat kuat incumbent yang menjabat perdana menteri, Robert Fico (Partai Sosial Demokrat) yang beraliran kiri/komunis. Pada Pilpres secara langsung, Kiska meraih suara mayoritas 59,38 persen pada putaran kedua dan mengantarnya ke kursi presiden.
Pada putaran pertama yang diikuti 14 kandidat, Fico unggul dengan perolehan suara 28,0 persen, sementara Kiska di urutan kedua dengan 24,1 persen.
Persamaan lainnya dengan Jokowi, pria berusia 51 tahun ini adalah presiden pertama di Slovakia sejak kemerdekaan pada 1993, yang tidak memiliki sejarah masa lalu dengan partai komunis. Sementara Jokowi tercatat sebagai presiden yang tidak memiliki kaitan dengan masa lalu Orde Baru.
Pencapaian Kiska tergolong fenomenal. Fico adalah jagoan dari Partai Sosial Demokrat (PSD) yang menguasai parlemen dan hampir seluruh posisi penting pemerintahan Slovakia. Fico sudah disiapkan oleh PSD sejak lama untuk menggantikan Ivan Gasparovic yang habis masa jabatannya setelah menjadi presiden dalam dua masa bakti.
Sebagaimana Jokowi, serangan bertubi-tubi juga harus diterima oleh Kiska selama masa kampanye. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik, Fico dan PSD menyebarkan rumor jika Kiska adalah seorang penganut Scientology, paham yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai Tuhannya. Kampanye itu tak banyak melukai popularitasnya.
Kiska juga dituduh bagian dari blok politik sayap kanan yang korup. Presiden Perancis, Francois Hollande, bahkan ikut-ikutan mendukung Fico untuk mengurangi popularitas Kiska yang melejit.
Pilpres Afghanistan: Kisruh Penghitungan Ulang
Komisi Independen Pemilu (IEC) Afghanistan, menetapkan calon presiden Ashraf Ghani
memenangi pilpres putaran kedua, 16 Juni 2014, dengan meraih 56,44 persen suara dari sekitar 8 juta pemilih. Sedangkan saingannya, Abdullah Abdullah menduduki posisi kedua dengan 43,56 persen.
Sebagaimana di Indonesia, hasil ini ditolak oleh calon yang kalah. Abdullah menolak hasil itu dengan tuduhan adanya kecurangan. Komisi Independen Pemilu (IEC) dan PBB pun memulai penyelidikan yang lebih luas sebelum hasil akhir dirilis.
Hingga hari Minggu, 3 Agustus 2014, upaya audit atas hasil perhitungan suara rupanya masih terkendala. Kedua kubu masih belum bersepakat tentang kriteria kecurangan.
Penghitungan ulang terkendala sebab keduanya tidak sepakat bagaimana menentukan keabsahan surat suara itu. Pada putaran pertama, Abdullah unggul di atas para pesaingnya, termasuk dari peringkat kedua Ashraf Ghani.
Pilpres El Salvador: Perolehan Suara Super Ketat
Mantan gerilyawan kiri El Salvador, Sanchez Ceren, tampil sebagai pemenang pemilihan presiden 9 Maret 2014. Mahkamah Pemilihan Tinggi mengkonfirmasi kemenangan tipis Sanchez Ceren atas pesaingnya, Norman Quijano, dari partai konservatif ARENA.
Sanchez Ceren, 69 tahun, yang berasal dari Farabundo Marti National Liberation Front (FMLN), menang dengan hasil akhir 50,11 berbanding 49,89 persen pada penghitungan ulang parsial. Hasil ini tergolong sangat ketat, sebagimana hasil Pilpres yang diumumkan KPU Indonesia pada 22 Juli 2014 lalu.
Selain perolehan suara yang ketat, ada peristiwa yang mirip dengan Pilpres di Indonesia. Pada minggu malam, hasil perhitungan sementara menunjukkan Ceren unggul tipis. Massa pendukung Ceren pun turun ke jalan guna merayakan kemenangan.
Quijano yang mengetahui dirinya hanya kalah tipis, melakukan manuver. Malam itu juga, ketika suara dari berbagai TPS baru masuk 70%, Quijano dan pemimpin partai ARENA ikut mengklaim kemenangan.
Meskipun Pengadilan Tinggi Pemilu El Salvador melarang para kandidat dan partai pendukungnya untuk saling klaim kemenangan sebelum proses penghitungan resmi selesai, keduanya mengabaikan larangan itu.
Ketika hasil akhir diumumkan pada Kamis (13/3), kubu Quijano memainkan skenario oposisi seperti di Venezuela, yaitu menolak mengakui hasil pemilu dan mendelegitimasi presiden terpilih.
Sebagai info, pasca meninggalnya Presiden Hugo Chavez, Venezuela menggelar pemilu ulang pada April 2013. Hasilnya, Nicolas Maduro, seorang Chavistas, berhasil menang tipis dalam pemilu tersebut. Maduro meraih suara 50,66%, sedangkan lawannya, Henrique Capriles Radonski, meraih suara 49.07 persen. Selisih suara mereka hanya 234 ribuan suara.
Dalam skenario oposisi di Venezuela, pihak oposisi langsung menggugat hasil pemilu, menuding ada kecurangan, dan mendesak penghitungan ulang 100%. Mereka juga mendorong pendukung mereka turun ke jalan dan melakukan aksi kekerasan. Ini dilaukan untuk mengundang intervensi dunia internasional.
Tak hanya itu, oposisi Venezuela juga menciptakan opini untuk meragukan independensi KPU-nya Venezuela, Dewan Pemilihan Nasional (CNE). Meskipun para pemantau pemilu internasional, termasuk mantan Presiden AS, Jimmy Carter, sudah menyatakan bahwa pemilu Venezuela berjalan sangat demokratis dan termasuk salah satu yang terbaik di dunia.
Skenario oposisi di Venezuela itu kemudian diadopsi oleh kubu Quijano, sayap kanan El Salvador. Begitu mengetahui pihaknya kalah, perwakilan partai ARENA meninggalkan proses penghitungan suara di KPU El Salvador.
Tak lama kemudian, Quijano berpidato bahwa kemenangan mereka dicuri seperti di Venezuela. Ia juga menyatakan bersiap “perang” untuk mempertahankan kemenangannya, dan meminta dunia internasional dan Angkatan Bersenjata El Salvador untuk mempertahankan demokrasi di El Salvador dari kecurangan.
Quijano mengklaim punya bukti tentang 20.000 pemilih yang dua kali menggunakan hak suaranya. Namun, ia tidak pernah membeberkan buktinya itu kepada media atau lembaga berwenang. Ia telah meminta organisasi negara-negara Amerika (OAS) untuk turun tangan memediasi perseteruan pemilu ini.
Yang menarik ditelusuri, ada keterkaitan antara aktor yang memainkan skenario oposisi di Venezuela dengan sayap kanan di El Salvador. Di sini muncul sosok bernama J.J. Rendón, seorang konsultan dan ahli strategi politik yang banyak bermain di berbagai pemilu presiden di Amerika Latin. Dia adalah kelahiran Venezuela, tetapi sangat menentang revolusi Bolivarian. Dia berkontribusi besar dalam menciptakan kekacauan pasca pemilu Venezuela.
Di El Salvador, JJ Rendon disewa oleh ARENA sebagai konsultan luar untuk membantu kampanye. Orang inilah yang dianggap punya andil untuk mendorong ARENA mengadopsi ‘skenario oposisi Venezuela’ untuk mengubah El Salvador menjadi ‘Venezuela berikutnya.’