Surya Dharma Paloh: Lifetime Achievement
Naskah : Sahrudi (disadur dari Buku: Surya Paloh, Sang Ideolog karya Usamah Hisyam)
Foto : Dok. MO/Dok. Pribadi
Obsesi, pengabdian, dan dedikasinya dalam upaya mewujudkan cita-cita membangun bangsa dan Negara memang tak pernah berhenti. Sejak usia muda, di dalam hati dan pikirannya senantiasa terpatri semangat dan keinginan kuat, yakni idealisme untuk memajukan bangsa dan Negaranya dengan mengembangkan nilai-nilai demokrasi.
Dari waktu ke waktu, di relung dada Surya Dharma Paloh atau akrab disapa Surya Paloh selalu berkobar tekad untuk mewujudkan cita-cita proklamasi yang dicanangkan para founding fathers Rebublik Indonesia tercinta, yakni merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bagi Surya muda, cita-cita bangsa tersebut diyakini akan lebih mudah tercapai melalui proses demokratisasi yang terus dan akan terus diperjuangkannya. Sebagai seorang pejuang demokrasi, Surya tak pernah berhenti dalam mengembangkan idealismenya. Karena baginya, demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan. Dan, untuk mempercepat tercapainya tujuan dan cita-cita bangsa, ia pun mencanangkan Restorasi Indonesia, sebagai suatu Gerakan Perubahan.
Sepak terjang Surya di pentas politik maupun di dunia pers Tanah Air yang dirajut sejak masa remaja hingga berusia lebih dari 60 tahun, memburai rekam jejaknya sebagai Sang Ideolog yang konsisten, konsekuen, berani, dan sangat tegas dalam bersikap, terutama dalam memperjuangkan kemerdekan pers, keadilan, kebenaran, persamaan hak-hak sipil dan hak asasi manusia sebagai nilai-nilai demokrasi.
Sebagai anak keempat dari delapan bersaudara, aktivitas Surya agak ’menyimpang’ dari kakak dan adik-adiknya. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Negeri Serbelawan, Kecamatan Dolok Batunangar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, awal dekade 1960-an, Surya belia sudah menunjukkan talenta kepemimpinan dan kepiawaian berorganisasi. Putra Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daud Paloh, Komandan Distrik Kepolisian Labuhan Ruku, Kecamatan Talawi, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, ini, juga sangat peduli terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, bangsa, dan Negara. Bersama enam orang rekannya, Surya mendirikan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) Rayon Serbelawan tahun 1966.
Di sinilah Surya mulai menunjukkan bakat kepeloporan dan kepemimpinannya sebagai kaum muda pergerakan yang idealis, sehingga terpilih menjadi ketua. Sejak itu pula ia mulai terjun menggeluti dunia politik jalanan sebagai demonstran. Hampir setiap hari ratusan anggota KAPPI yang dipimpinnya menggelar aksi unjuk rasa maupun rapat akbar. Sejak tumbuh remaja, Surya yang sudah menjadi pengagum Bung Karno mulai menanamkan nilai-nilai idealisme yang hendak diperjuangkan, yakni nasionalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ia gemar menyimak dan mempelajari pidato-pidato politik sekaligus tekanan nada pada orasi-orasi Bung Karno melalui siaran radio.

Pengalaman berorganisasi yang dimilikinya sebagai kaum pergerakan di Serbelawan, kelak menjadi bekal Surya ketika hijrah ke Medan tahun 1967. Pada saat yang hampir bersamaan, Daud Paloh memperoleh promosi jabatan sebagai Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Tapanuli Utara di Tarutung dengan pangkat AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi). Di ibukota propinsi Sumatera Utara, Surya melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 7, Medan. Pada masa transisi dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru itu, Surya jeli melihat arah perubahan bandul politik. Sebagai aktivis pelajar yang berasal dari lingkungan anak polisi, ia pun bergabung dengan GPP (Gerakan Pelajar Pancasila) Sumatera Utara, yang dipimpin oleh Tomiyus Djamal. Dari sini kepedulian Surya terhadap masalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, mulai tampak. Nilai-nilai Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semangat nasionalisme atau kebangsaan kian terpatri kuat dalam dadanya.
“Sebagai salah seorang pengurus GPP, Surya lebih menonjol dibandingkan ketuanya yang kalah pamor. Dia seperti punya kharisma dan kekuatan magis,” kenang Jupiter K. Purba, Ketua GSNI Rayon 19 Padang Bulan, organisasi yang berlawanan afiliasi dengan GPP. “Bahkan di kalangan organisasi pergerakan pemuda yang afiliasinya berbeda, pengaruh Surya dianggap sangat berbahaya. Apalagi dia dikenal sebagai seorang orator yang mampu meyakinkan massa,” lanjutnya. Kiprah Surya dalam organisasi kepemudaan yang sangat menonjol, bukan saja melambungkan namanya, tetapi sekaligus mengancam dirinya.
Setahun berselang, 1968, Surya terpilih menjadi Ketua Presidium KAPPI di Medan. Nama Surya pun kian mencuat di kalangan anak-anak muda Medan. Dalam pandangan Edy Syam Ginting, salah satu pentolan preman Medan pada akhir dekade 1950-an – dan belakangan sempat menjabat Komandan Batalyon Zeni Tempur I Kodam Bukit Barisan-, Surya adalah anak kolong yang pemberani.
Sebagai aktivis organisasi pergerakan pemuda, Surya memang dikenal berani menghadapi para petinggi militer Kodam Bukit Barisan - yang saat itu dikenal powerfull dan sangat ditakuti – dengan gaya dan penampilan yang melawan arus nilai-nilai yang berlaku di masa itu. Mahasiswa Fakultas Hukum USU (Universitas Sumatera Utara) ini, misalnya, tak segan-segan berusaha menemui Kasdam (Kepala Staf Komando Daerah Militer) tanpa janji, dan tekun menunggu di Kodam I Bukit Barisan hingga sang petinggi bersedia menemui.
Tak heran, bila kemudian Surya menjadi pemrakarsa sekaligus pendiri organisasi PP-ABRI (Persatuan Putra Putri ABRI) di Medan tahun 1968. Dalam situasi maraknya perkelahian antar anak-anak kolong dan menjamurnya praktik premanisme, tentu tak mudah untuk menangani organisasi ini, tetapi Surya dapat melakukannya.
Kepeloporannya mempersatukan putra-putri ABRI dalam satu wadah PP ABRI, setahun kemudian menghantarkan dirinya terpilih sebagai Ketua Koordinator Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Golkar (Golongan Karya), organisasi yang kelahirannya ditopang penuh oleh ABRI. Bahkan pada Pemilu 1971, Surya menjadi calon anggota termuda DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Tingkat II Medan dari Golkar.
Kesibukan Surya sebagai aktivis pergerakan pemuda, memaksanya harus pindah dari USU dan baru meraih gelar sarjana tahun 1975 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UISU (Universitas Islam Sumatera Utara). Apalagi, pada awal 1970-an itu, Surya juga mulai sibuk merintis sejumlah usaha, sehingga dikenal pula sebagai pengusaha muda. Malahan, pada 1974, Surya terpilih sebagai Ketua Umum BPD (Badan Pengurus Daerah) HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) Sumatera Utara selama tiga tahun masa jabatan.
Eksistensi Surya Paloh sebagai pengusaha muda yang cemerlang sangat diakui oleh Ketua Umum BPP (Badan Pengurus Pusat) HIPMI masa bakti 1973 – 1976 Ir. Siswono Yudo Husodo. Dalam kunjungan kerjanya ke Medan tahun 1974, Siswono telah menyaksikan foto Wakil Presiden Adam Malik saat bertandang ke kantor milik Surya Paloh yang terpampang di dinding perusahaan agen diesel milik Surya, PT Eka Diesel Bros Medan.
“Padahal waktu itu usia Surya Paloh baru 22 tahun. Sebagai pengusaha muda daerah, dia sudah bisa mengajak Wakil Presiden Adam Malik berkunjung ke kantornya. Dan itu selalu saya pakai sebagai contoh ke daerah-daerah lain, menjadi suatu anjuran kepada pengurus HIPMI di semua daerah agar bisa membina hubungan baik dengan para penentu kebijakan sesuai tingkatannya, seperti yang dilakukan Surya Paloh sebagai Ketua DPD HIPMI Sumatera Utara,” tutur Siswono, yang kini menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar. Sejak tahun 1976, putra pasangan Muhammad Daud Paloh dan Nursiah ini kerap mengadakan perjalanan Medan-Jakarta sebelum kemudian menetap di ibukota negara. Sebagaimana umumnya anak-anak perantauan, Surya berusaha membangun eksistensinya, baik sebagai pengusaha muda maupun sebagai politikus dan aktivis pemuda. Tahun 1978, bersama Yoseano Waas dan kawan-kawannya, Surya memelopori pendirian FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia) dan terpilih menjadi Ketua Umum FKPPI pertama. Praktis, dalam dua periode tahapan kehidupannya–pelajar dan mahasiswa- Surya telah memelopori pendirian tiga organisasi kepemudaan di tingkat daerah dan nasonal yang tetap eksis dan berpengaruh hingga kini, yaitu KAPPI, PP-ABRI, dan FKPPI.
Dalam waktu relatif singkat, nama anak Serbelawan ini mulai berkibar-kibar, terutama di lingkungan Golkar. Selain menggagas dan memimpin FKPPI, pada 1982 Surya juga mendapat kehormatan sebagai satu-satunya warga sipil yang dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI).
Kedekatan Surya Paloh dengan kalangan petinggi ABRI, toh sama sekali tidak mengubah sifat, karakter, dan idealismenya sebagai politisi muda yang memegang teguh prinsip-prinsip yang diperjuangkannya sejak muda. Sikap independen dan demokratis tetap ia perlihatkan dalam menyikapi persoalan-persoalan prinsipil, walaupun hal itu berisiko ia tak disukai oleh penguasa. Bagi Surya, mempertahankan kebenaran jauh lebih penting dari kepentingan terhadap kekuasaan.
Sikap independensi tersebut tercermin dalam Rakernas (Rapat Kerja Nasional) FKPPI di Malang, Februari 1983. Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat FKPPI, Surya membuat kejutan yang kontroversial. Ia berhasil meyakinkan peserta Rakernas untuk menolak usulan agar Presiden Soeharto ditetapkan sebagai Bapak Pembangunan dalam Sidang Umum MPR RI tahun 1983. Padahal, pencetus usulan tersebut tak lain adalah Ali Moertopo, orang kuat di seputar Presiden Soeharto. Surya seakan-akan tak mau tahu bahwa usulan tersebut merupakan garis kebijakan Golkar yang menguasai parlemen. Ia bergeming pada pendiriannya.

Sikap itu sesungguhnya sudah ia perlihatkan beberapa tahun sebelumnya, saat tampil di podium dalam Forum Musyawarah Nasional KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) 1978. Ia menyampaikan sikap FKPPI melalui pidato tanpa teks. Di hadapan Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga), Letkol Udara Abdul Gafur, yang juga pembina KNPI, Surya bersuara lantang. Ia meminta Abdul Gafur tidak melakukan intervensi dalam pemilihan Ketua Umum KNPI demi menegakkan nilai-nilai demokrasi.
Sikap berani tersebut diakui oleh Akbar Tanjung, yang pada Munas KNPI 1978 terpilih menjadi Ketua Umum KNPI menggantikan David Napitupulu. ”Saya melihat, Bung Surya sering memperlihatkan sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam hal ini Menpora Pak Abdul Gafur. Banyak kebijakan yang dia tidak setuju, dan dia mempunyai keberanian untuk menyatakan ketidaksetujuannya, kemudian memperlihatkan sikapnya dalam mengoreksi kebijakan tersebut. Itu kan sangat langka pada waktu itu. Dia termasuk aktivis pemuda yang punya keberanian, kritis, dan tidak ragu-ragu dalam bersikap,” kenang Akbar Tanjung, yang kini menduduki jabatan Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar.
Bagi Surya Paloh, menegakkan nilai-nilai demokrasi secara universal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah suatu idealisme yang mutlak dilaksanakan untuk menjunjung tinggi aspirasi rakyat, selain jembatan emas untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Idealisme itulah yang terus diperjuangkan, baik sebagai kaum pergerakan, tokoh pemuda, politisi, maupun pengusaha pers kelak di kemudian hari.
Foto : Dok. MO/Dok. Pribadi

Dari waktu ke waktu, di relung dada Surya Dharma Paloh atau akrab disapa Surya Paloh selalu berkobar tekad untuk mewujudkan cita-cita proklamasi yang dicanangkan para founding fathers Rebublik Indonesia tercinta, yakni merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bagi Surya muda, cita-cita bangsa tersebut diyakini akan lebih mudah tercapai melalui proses demokratisasi yang terus dan akan terus diperjuangkannya. Sebagai seorang pejuang demokrasi, Surya tak pernah berhenti dalam mengembangkan idealismenya. Karena baginya, demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan. Dan, untuk mempercepat tercapainya tujuan dan cita-cita bangsa, ia pun mencanangkan Restorasi Indonesia, sebagai suatu Gerakan Perubahan.
Sepak terjang Surya di pentas politik maupun di dunia pers Tanah Air yang dirajut sejak masa remaja hingga berusia lebih dari 60 tahun, memburai rekam jejaknya sebagai Sang Ideolog yang konsisten, konsekuen, berani, dan sangat tegas dalam bersikap, terutama dalam memperjuangkan kemerdekan pers, keadilan, kebenaran, persamaan hak-hak sipil dan hak asasi manusia sebagai nilai-nilai demokrasi.
Sebagai anak keempat dari delapan bersaudara, aktivitas Surya agak ’menyimpang’ dari kakak dan adik-adiknya. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Negeri Serbelawan, Kecamatan Dolok Batunangar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, awal dekade 1960-an, Surya belia sudah menunjukkan talenta kepemimpinan dan kepiawaian berorganisasi. Putra Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daud Paloh, Komandan Distrik Kepolisian Labuhan Ruku, Kecamatan Talawi, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, ini, juga sangat peduli terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, bangsa, dan Negara. Bersama enam orang rekannya, Surya mendirikan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) Rayon Serbelawan tahun 1966.
Di sinilah Surya mulai menunjukkan bakat kepeloporan dan kepemimpinannya sebagai kaum muda pergerakan yang idealis, sehingga terpilih menjadi ketua. Sejak itu pula ia mulai terjun menggeluti dunia politik jalanan sebagai demonstran. Hampir setiap hari ratusan anggota KAPPI yang dipimpinnya menggelar aksi unjuk rasa maupun rapat akbar. Sejak tumbuh remaja, Surya yang sudah menjadi pengagum Bung Karno mulai menanamkan nilai-nilai idealisme yang hendak diperjuangkan, yakni nasionalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ia gemar menyimak dan mempelajari pidato-pidato politik sekaligus tekanan nada pada orasi-orasi Bung Karno melalui siaran radio.

Pengalaman berorganisasi yang dimilikinya sebagai kaum pergerakan di Serbelawan, kelak menjadi bekal Surya ketika hijrah ke Medan tahun 1967. Pada saat yang hampir bersamaan, Daud Paloh memperoleh promosi jabatan sebagai Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Tapanuli Utara di Tarutung dengan pangkat AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi). Di ibukota propinsi Sumatera Utara, Surya melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 7, Medan. Pada masa transisi dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru itu, Surya jeli melihat arah perubahan bandul politik. Sebagai aktivis pelajar yang berasal dari lingkungan anak polisi, ia pun bergabung dengan GPP (Gerakan Pelajar Pancasila) Sumatera Utara, yang dipimpin oleh Tomiyus Djamal. Dari sini kepedulian Surya terhadap masalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, mulai tampak. Nilai-nilai Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semangat nasionalisme atau kebangsaan kian terpatri kuat dalam dadanya.
“Sebagai salah seorang pengurus GPP, Surya lebih menonjol dibandingkan ketuanya yang kalah pamor. Dia seperti punya kharisma dan kekuatan magis,” kenang Jupiter K. Purba, Ketua GSNI Rayon 19 Padang Bulan, organisasi yang berlawanan afiliasi dengan GPP. “Bahkan di kalangan organisasi pergerakan pemuda yang afiliasinya berbeda, pengaruh Surya dianggap sangat berbahaya. Apalagi dia dikenal sebagai seorang orator yang mampu meyakinkan massa,” lanjutnya. Kiprah Surya dalam organisasi kepemudaan yang sangat menonjol, bukan saja melambungkan namanya, tetapi sekaligus mengancam dirinya.

Sebagai aktivis organisasi pergerakan pemuda, Surya memang dikenal berani menghadapi para petinggi militer Kodam Bukit Barisan - yang saat itu dikenal powerfull dan sangat ditakuti – dengan gaya dan penampilan yang melawan arus nilai-nilai yang berlaku di masa itu. Mahasiswa Fakultas Hukum USU (Universitas Sumatera Utara) ini, misalnya, tak segan-segan berusaha menemui Kasdam (Kepala Staf Komando Daerah Militer) tanpa janji, dan tekun menunggu di Kodam I Bukit Barisan hingga sang petinggi bersedia menemui.
Tak heran, bila kemudian Surya menjadi pemrakarsa sekaligus pendiri organisasi PP-ABRI (Persatuan Putra Putri ABRI) di Medan tahun 1968. Dalam situasi maraknya perkelahian antar anak-anak kolong dan menjamurnya praktik premanisme, tentu tak mudah untuk menangani organisasi ini, tetapi Surya dapat melakukannya.
Kepeloporannya mempersatukan putra-putri ABRI dalam satu wadah PP ABRI, setahun kemudian menghantarkan dirinya terpilih sebagai Ketua Koordinator Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Golkar (Golongan Karya), organisasi yang kelahirannya ditopang penuh oleh ABRI. Bahkan pada Pemilu 1971, Surya menjadi calon anggota termuda DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Tingkat II Medan dari Golkar.
Kesibukan Surya sebagai aktivis pergerakan pemuda, memaksanya harus pindah dari USU dan baru meraih gelar sarjana tahun 1975 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UISU (Universitas Islam Sumatera Utara). Apalagi, pada awal 1970-an itu, Surya juga mulai sibuk merintis sejumlah usaha, sehingga dikenal pula sebagai pengusaha muda. Malahan, pada 1974, Surya terpilih sebagai Ketua Umum BPD (Badan Pengurus Daerah) HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) Sumatera Utara selama tiga tahun masa jabatan.
Eksistensi Surya Paloh sebagai pengusaha muda yang cemerlang sangat diakui oleh Ketua Umum BPP (Badan Pengurus Pusat) HIPMI masa bakti 1973 – 1976 Ir. Siswono Yudo Husodo. Dalam kunjungan kerjanya ke Medan tahun 1974, Siswono telah menyaksikan foto Wakil Presiden Adam Malik saat bertandang ke kantor milik Surya Paloh yang terpampang di dinding perusahaan agen diesel milik Surya, PT Eka Diesel Bros Medan.
Dalam waktu relatif singkat, nama anak Serbelawan ini mulai berkibar-kibar, terutama di lingkungan Golkar. Selain menggagas dan memimpin FKPPI, pada 1982 Surya juga mendapat kehormatan sebagai satu-satunya warga sipil yang dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI).
Kedekatan Surya Paloh dengan kalangan petinggi ABRI, toh sama sekali tidak mengubah sifat, karakter, dan idealismenya sebagai politisi muda yang memegang teguh prinsip-prinsip yang diperjuangkannya sejak muda. Sikap independen dan demokratis tetap ia perlihatkan dalam menyikapi persoalan-persoalan prinsipil, walaupun hal itu berisiko ia tak disukai oleh penguasa. Bagi Surya, mempertahankan kebenaran jauh lebih penting dari kepentingan terhadap kekuasaan.
Sikap independensi tersebut tercermin dalam Rakernas (Rapat Kerja Nasional) FKPPI di Malang, Februari 1983. Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat FKPPI, Surya membuat kejutan yang kontroversial. Ia berhasil meyakinkan peserta Rakernas untuk menolak usulan agar Presiden Soeharto ditetapkan sebagai Bapak Pembangunan dalam Sidang Umum MPR RI tahun 1983. Padahal, pencetus usulan tersebut tak lain adalah Ali Moertopo, orang kuat di seputar Presiden Soeharto. Surya seakan-akan tak mau tahu bahwa usulan tersebut merupakan garis kebijakan Golkar yang menguasai parlemen. Ia bergeming pada pendiriannya.

Sikap itu sesungguhnya sudah ia perlihatkan beberapa tahun sebelumnya, saat tampil di podium dalam Forum Musyawarah Nasional KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) 1978. Ia menyampaikan sikap FKPPI melalui pidato tanpa teks. Di hadapan Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga), Letkol Udara Abdul Gafur, yang juga pembina KNPI, Surya bersuara lantang. Ia meminta Abdul Gafur tidak melakukan intervensi dalam pemilihan Ketua Umum KNPI demi menegakkan nilai-nilai demokrasi.
Sikap berani tersebut diakui oleh Akbar Tanjung, yang pada Munas KNPI 1978 terpilih menjadi Ketua Umum KNPI menggantikan David Napitupulu. ”Saya melihat, Bung Surya sering memperlihatkan sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam hal ini Menpora Pak Abdul Gafur. Banyak kebijakan yang dia tidak setuju, dan dia mempunyai keberanian untuk menyatakan ketidaksetujuannya, kemudian memperlihatkan sikapnya dalam mengoreksi kebijakan tersebut. Itu kan sangat langka pada waktu itu. Dia termasuk aktivis pemuda yang punya keberanian, kritis, dan tidak ragu-ragu dalam bersikap,” kenang Akbar Tanjung, yang kini menduduki jabatan Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar.
Bagi Surya Paloh, menegakkan nilai-nilai demokrasi secara universal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah suatu idealisme yang mutlak dilaksanakan untuk menjunjung tinggi aspirasi rakyat, selain jembatan emas untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Idealisme itulah yang terus diperjuangkan, baik sebagai kaum pergerakan, tokoh pemuda, politisi, maupun pengusaha pers kelak di kemudian hari.