Nancy Margried: Total Membatik Fractal
Naskah: Suci Yulianita, Foto: Sutanto
Matahari pagi sudah muncul saat Nancy Margried memasuki café berdesain minimalis di kawasan Setiabudi, Bandung, Jawa Barat. Perpaduan celana jeans dan tanktop hitam yang dikenakan, membuat Nancy tampak enerjik. Ya, sama enerjiknya saat ia memperkenalkan batik fractal kepada dunia. Kepada Men’s Obsession yang sudah menunggunya sejak awal, ia pun gesit bercerita tentang batik modern satu ini.
Sepintas tak ada yang berlebihan dari penampilan perempuan berdarah Batak satu ini. Selayaknya perempuan biasa, ya begitulah Nancy Margried, bersahaja dan selalu ceria.
Kalaupun ada sesuatu yang membedakan dari perempuan sebayanya, terletak pada ketenarannya sebagai salah seorang yang melahirkan desain batik berbasis komputer dan ilmu matematik. Batik Fractal, begitu ia mengistilahkannya.
Awalnya, ia tertarik akan batik sebagai warisan mahakarya nan cantik. Nancy pun coba-coba merancang desain batik dengan memadukan teknologi komputer dan ilmu matematik. Kebetulan, ilmu yang dimiliki teamnya itu tak jauh dari soal komputer dan ilmu hitung tersebut. Istilah ‘fractal’ sendiri diambil dari salah satu cabang ilmu matematika yang bertumpu pada pengulangan, dimensi, literasi, dan pecahan. Walhasil, terwujudlah software yang bisa membuat kita bisa memakai batik hasil desain sendiri. “Itu tahun 2008 lho,” ujarnya dengan tawa lepas.
Nancy bercerita, awalnya ia juga tak sengaja menemukan software tersebut. Bersama dua kawannya saat itu ia iseng bikin gambar bunga dengan rumus matematika menggunakan software. “Eh, kok gambarnya seperti batik. Sehingga dari situ kemudian kita terinspirasi untuk mencoba mengembangkan software batik dengan terlebih dulu melakukan riset bagaimana cara menggabungkan rumus matematika dengan batik, karena ini kan sangat scientific,” ceritanya penuh semangat sembari membolak-balik busana dengan motif batik yang dirancangnya dan sengaja dibawanya dari rumah untuk sesi pemotretan. Sesekali ia membanggakan desainnya itu dengan senyumnya yang khas.
‘Bonek’ atau bondo nekat alias modal nekat adalah julukan yang tepat ditujukan kepada Nancy saat dimana dia pertama kali ingin mempromosikan hasil temuannya itu. Betapa tidak, saat ia berhasil menemukan software batik yang luar biasa itu, ia dan kawan-kawannya justru sedang kehabisan modal. Terlebih lagi, di Bandung ia adalah mahasiswi perantauan. “Bingung juga, duit dari mana ya?” ia kembali tersenyum.
Sampai kemudian, ia mengontak semua koleganya bahkan hingga di berbagai negara. Tujuannya, apalagi kalau bukan ingin mencari modal! Syukurnya, rekannya di Amerika Serikat memahami kesulitan itu sampai kemudian Nancy dan kawan-kawan mendapatkan suntikan dana.
Modal yang dimiliki ternyata tak serta merta membuat ia beranjak maju. Ia baru sadar meski apa yang dilakukannya itu bukan tanpa kendala. Ada banyak tantangan yang harus dihadapinya. “Awal memutuskan bisnis ini kita benar-benar nggak tahu dan nggak ada bayangan akan seperti apa tantangannya. Kita jalani saja. Tapi karena nggak tahu itu kita jalan. Kalau tahu dari awal mungkin saya takut dan memilih mundur, hahaha,” ia terkekeh.
Kini perjuangan wanita kelahiran Medan, 3 Maret 1979 ini berbuah manis. Software batik fractal yang diciptakannya banyak digunakan para pengrajin batik di seluruh Indonesia. Selain pemasaran software, sejak 2010 Nancy juga memasarkan baju-baju batik fractal hasil karyanya.
Memasarkan melalui online, membuka butik dan factory outlet di kawasan Bandung dan Jakarta. “Kini saya tengah mempersiapkan produksi dalam jumlah besar untuk ekspor ke mancanegara, antara lain, Australia, Inggris, Swiss, Kanada, dan Belanda,” matanya tampak berbinar-binar.
Sebagai perempuan penuh idealis untuk mengembangkan batik dan membantu masyarakat kecil melalui usaha kecil dan menengah di sektor kerajinan batik, membuat Nancy tak segan turun langsung blusukan dari kampung ke kampung untuk mengenalkan dan mengajarkan cara penggunaan software batik fractal kepada para pengrajin batik. Di Bandung sendiri, Nancy turut mendukung program ‘Kampung Kreatif’ yang digagas walikota Bandung, Ridwan Kamil. Di kawasan Kampung Dago Pojok, Bandung, ini Nancy membantu mengasah kreativitas para Ibu dan wanita muda dalam membatik.
“Saya ajari anak-anak mudanya untuk mendesain menggunakan software batik fractal. Nah ibu-ibunya saya ajak untuk bikin batik,” wanita lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung ini terlihat serius. Ia bangga, dengan kemampuannya itu ternyata bisa mendedikasikan diri bagi upaya membantu meningkatkan taraf hidup kehidupan para masyarakat. “Itu memang tujuan saya,” lagi-lagi senyum manisnya terlihat.
Nancy memang menarik. Bukan hanya karena temuannya di dunia batik itu saja, tapi juga hobi yang dilakoninya sama sekali jauh dari kesan dia sebagai seorang pebisnis. “Saya suka lari marathon,” tegasnya. Di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri berolahraga lari minimal empat kali dalam seminggu. Jarak tempuh 5 sampai 10 kilometer sudah biasa ia lakukan. Sejumlah kejuaran lari marathon, pun tak lepas ia ikuti. “Saya ingin ikut Bali Marathon tahun ini dengan jarak kurang lebih 40 kilometer,” penggemar traveling ini meninggikan intonasinya.
Ya, Nancy pun terus berlari jauh. Jauh mengejar cita-citanya untuk terus ikut meningkatkan industri batik di negeri ini!
Matahari pagi sudah muncul saat Nancy Margried memasuki café berdesain minimalis di kawasan Setiabudi, Bandung, Jawa Barat. Perpaduan celana jeans dan tanktop hitam yang dikenakan, membuat Nancy tampak enerjik. Ya, sama enerjiknya saat ia memperkenalkan batik fractal kepada dunia. Kepada Men’s Obsession yang sudah menunggunya sejak awal, ia pun gesit bercerita tentang batik modern satu ini.
Sepintas tak ada yang berlebihan dari penampilan perempuan berdarah Batak satu ini. Selayaknya perempuan biasa, ya begitulah Nancy Margried, bersahaja dan selalu ceria.
Kalaupun ada sesuatu yang membedakan dari perempuan sebayanya, terletak pada ketenarannya sebagai salah seorang yang melahirkan desain batik berbasis komputer dan ilmu matematik. Batik Fractal, begitu ia mengistilahkannya.
Awalnya, ia tertarik akan batik sebagai warisan mahakarya nan cantik. Nancy pun coba-coba merancang desain batik dengan memadukan teknologi komputer dan ilmu matematik. Kebetulan, ilmu yang dimiliki teamnya itu tak jauh dari soal komputer dan ilmu hitung tersebut. Istilah ‘fractal’ sendiri diambil dari salah satu cabang ilmu matematika yang bertumpu pada pengulangan, dimensi, literasi, dan pecahan. Walhasil, terwujudlah software yang bisa membuat kita bisa memakai batik hasil desain sendiri. “Itu tahun 2008 lho,” ujarnya dengan tawa lepas.
Nancy bercerita, awalnya ia juga tak sengaja menemukan software tersebut. Bersama dua kawannya saat itu ia iseng bikin gambar bunga dengan rumus matematika menggunakan software. “Eh, kok gambarnya seperti batik. Sehingga dari situ kemudian kita terinspirasi untuk mencoba mengembangkan software batik dengan terlebih dulu melakukan riset bagaimana cara menggabungkan rumus matematika dengan batik, karena ini kan sangat scientific,” ceritanya penuh semangat sembari membolak-balik busana dengan motif batik yang dirancangnya dan sengaja dibawanya dari rumah untuk sesi pemotretan. Sesekali ia membanggakan desainnya itu dengan senyumnya yang khas.
‘Bonek’ atau bondo nekat alias modal nekat adalah julukan yang tepat ditujukan kepada Nancy saat dimana dia pertama kali ingin mempromosikan hasil temuannya itu. Betapa tidak, saat ia berhasil menemukan software batik yang luar biasa itu, ia dan kawan-kawannya justru sedang kehabisan modal. Terlebih lagi, di Bandung ia adalah mahasiswi perantauan. “Bingung juga, duit dari mana ya?” ia kembali tersenyum.
Sampai kemudian, ia mengontak semua koleganya bahkan hingga di berbagai negara. Tujuannya, apalagi kalau bukan ingin mencari modal! Syukurnya, rekannya di Amerika Serikat memahami kesulitan itu sampai kemudian Nancy dan kawan-kawan mendapatkan suntikan dana.
Modal yang dimiliki ternyata tak serta merta membuat ia beranjak maju. Ia baru sadar meski apa yang dilakukannya itu bukan tanpa kendala. Ada banyak tantangan yang harus dihadapinya. “Awal memutuskan bisnis ini kita benar-benar nggak tahu dan nggak ada bayangan akan seperti apa tantangannya. Kita jalani saja. Tapi karena nggak tahu itu kita jalan. Kalau tahu dari awal mungkin saya takut dan memilih mundur, hahaha,” ia terkekeh.
Kini perjuangan wanita kelahiran Medan, 3 Maret 1979 ini berbuah manis. Software batik fractal yang diciptakannya banyak digunakan para pengrajin batik di seluruh Indonesia. Selain pemasaran software, sejak 2010 Nancy juga memasarkan baju-baju batik fractal hasil karyanya.
Memasarkan melalui online, membuka butik dan factory outlet di kawasan Bandung dan Jakarta. “Kini saya tengah mempersiapkan produksi dalam jumlah besar untuk ekspor ke mancanegara, antara lain, Australia, Inggris, Swiss, Kanada, dan Belanda,” matanya tampak berbinar-binar.
Sebagai perempuan penuh idealis untuk mengembangkan batik dan membantu masyarakat kecil melalui usaha kecil dan menengah di sektor kerajinan batik, membuat Nancy tak segan turun langsung blusukan dari kampung ke kampung untuk mengenalkan dan mengajarkan cara penggunaan software batik fractal kepada para pengrajin batik. Di Bandung sendiri, Nancy turut mendukung program ‘Kampung Kreatif’ yang digagas walikota Bandung, Ridwan Kamil. Di kawasan Kampung Dago Pojok, Bandung, ini Nancy membantu mengasah kreativitas para Ibu dan wanita muda dalam membatik.
“Saya ajari anak-anak mudanya untuk mendesain menggunakan software batik fractal. Nah ibu-ibunya saya ajak untuk bikin batik,” wanita lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung ini terlihat serius. Ia bangga, dengan kemampuannya itu ternyata bisa mendedikasikan diri bagi upaya membantu meningkatkan taraf hidup kehidupan para masyarakat. “Itu memang tujuan saya,” lagi-lagi senyum manisnya terlihat.
Nancy memang menarik. Bukan hanya karena temuannya di dunia batik itu saja, tapi juga hobi yang dilakoninya sama sekali jauh dari kesan dia sebagai seorang pebisnis. “Saya suka lari marathon,” tegasnya. Di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri berolahraga lari minimal empat kali dalam seminggu. Jarak tempuh 5 sampai 10 kilometer sudah biasa ia lakukan. Sejumlah kejuaran lari marathon, pun tak lepas ia ikuti. “Saya ingin ikut Bali Marathon tahun ini dengan jarak kurang lebih 40 kilometer,” penggemar traveling ini meninggikan intonasinya.
Ya, Nancy pun terus berlari jauh. Jauh mengejar cita-citanya untuk terus ikut meningkatkan industri batik di negeri ini!