Pratikno (Menteri Sekretaris Negara RI) Akademisi di Belakang Presiden

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 08 April 2016

Jalan hidup seseorang adalah rahasia Tuhan. Tak ada yang bisa memastikan, siapa menjadi apa. Sekalipun cita-cita sudah terpatri dan peluang terbuka begitu menanti, namun belum tentu itu merupakan jalan yang harus dilewati.

Seperti itulah cerita hidup seorang Pratikno. Cerita hidup yang unik dan menarik bahkan kadang-kadang miris, adalah episode demi episode yang kemudian mengantarkannya menjadi seorang menteri. Kisah itu sempat ia ceritakan kepada putrinya yang ingin menulis tentang dirinya untuk tugas sekolah. Tapi karena saking sedihnya cerita yang dipaparkan Pratikno, sampai-sampai anaknyapun sempat tidak percaya. “Anak saya tidak percaya, saya dibilang bohong, haha..padahal ini sungguh cerita asli, tidak pernah saya cerita ke orang lain selain anak saya dan dalam wawancara ini,” ujar suami dari Siti Faridah ini sembari masih menyisakan senyumnya.


Lahir di Desa Dolokgede, Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, 13 Februari 1962, Pratikno merupakan putra dari pasangan orang tua yang dua-duanya berprofesi sebagai guru. Tapi sayangnya, kondisi pendidikan saat ia duduk di bangku SD sungguh memprihatinkan. Saat Pratikno pertama kali belajar, ruang kelasnya harus bergantian. Minimnya ruang kelas membuat sekolah tak punya tempat untuk menampung buku bacaan yang merupakan sumbangan untuk SD Inpres (Instruksi Presiden) waktu itu.  Rumah Pratikno yang tak jauh dari sekolah akhirnya dijadikan ‘perpustakaan’. Disitulah Pratikno kecil mendapat untung bisa membaca buku setiap hari. “Karena buku pelajaran ditaruh di rumah semua, maka setiap hari saya bebas membaca buku-buku itu,” ceritanya. Itulah pengalaman yang kemudian membentuk Pratikno sebagai sosok yang gemar membaca.


Lulus SD, ia harus berjuang lagi untuk sekolah di SMP. Letak sekolah SMP sangat jauh dari rumahnya. Sepeda ontel menjadi moda transportasinya kala itu. “Kalau musim hujan, minta ampun. Licin. Jadi seringnya sepeda saya di atas (diangkat) daripada di bawah (dikayuh),” lagi-lagi ia tertawa. Karena jauhnya lokasi sekolah dengan rumah, Pratikno akhirnya indekos di lokasi terdekat sekolah. Saat itulah ia harus mandiri. Usai solat Subuh, ia harus menanak nasi sendiri dan makan dengan lauk seadanya.


Selepas SMP, kecerdasannya mulai terlihat. Ilmu aljabar (berhitung) adalah pelajaran favoritnya hingga sang guru senang dengannya karena pintar dalam ilmu hitung menghitung tersebut. “Saya pinter di aljabar waktu itu tuh, jadi the best two dari lima kelas itu selalu ada saya dan salah satu temen saya namanya Uuk. Saya lupa. Perempuan. Saya nggak tahu ia sekarang dimana. Jadi karena saya dulu terkenal di SMP karena aljabar. Pokonya aljabar, guru saya namanya pak Agus, sayang banget sama saya karena paling pinterlah kalo aljabar,” bebernya.