Laporan Khusus Jokowi-JK (Part 1): Mengapa Jokowi Dizalimi?

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 16 June 2014
Naskah: Andi Nursaiful, Foto: Istimewa

Orang bersahaja dan apa adanya rawan dicemooh. Mereka yang berpihak pada rakyat, akan dimusuhi para penikmat kemapanan. Dan calon pemimpin yang jujur dan ingin menegakkan kebenaran, cenderung difitnah dan dizalimi oleh mereka yang terbiasa berbohong.

Hal ini pula yang menimpa Jokowi. Bukan kali ini saja, sebab sejak maju sebagai calon walikota Solo, calon gubernur DKI, dan kini calon Presiden RI, laki-laki kurus yang lahir dari bawah ini memang sudah kenyang dicemooh, difitnah, dijelek-jelekkan, bahkan dijadikan musuh bersama.


Anda mungkin masih ingat peristiwa mencontek massal di SDN Gadel II, Surabaya, saat berlangsung Ujian Akhir Nasional (UAN) 2011. Seorang murid cerdas bernama Alif, diperintahkan oleh gurunya untuk membagi-bagikan contekan kepada teman-teman sekelasnya yang kesulitan menjawab soal-soal UAN.
Al yang sedari kecil dididik untuk bersikap jujur, berhari-hari merasa gundah dan akhirnya mengakui perbuatan bersalahnya kepada sang ibu, Siami. Siami kemudian melapor kepada komite sekolah dan dinas pendidikan. Buntutnya, kepala sekolah dan dua guru dicopot.

Ironisnya, para guru, orang tua murid, bahkan para tetangga Siami justru tidak terima. Ia dianggap pembuat onar, mencemarkan nama baik sekolah dan guru. Mereka marah dan mengusir ibu dan anak itu dari kampungnya, bahkan mengancam akan membakar rumahnya. Siami dan AL, dijadikan musuh bersama, dianggap sampah kampung, dan dipaksa mengungsi demi menghindari amuk warga.
Itukah harga sebuah kejujuran di negeri ini. Itukah hasil nation character building yang dilakukan para pemimpin selama ini?

Jangan-jangan syair ramalan Ronggowarsito dalam Serat Kalatida benar adanya. Ia mengatakan zaman sekarang adalah zaman edan. Mereka yang tidak ikut edan tidak akan kebagian. Mereka yang lurus harus disingkirkan atau segera menyingkir.


Kejujuran yang Penuh Risiko
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)”. Surat At-Taubah : 119

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (jujur).” Surat Al Ahzab : 70

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Rasulullah Muhammad SAW sendiri mendapat gelar al amin (orang yang dapat dipercaya) berkat kejujuran dan kelurusannya.

Dari kedua ayat di atas, dan juga sejumlah hadist, terang bahwa kejujuran adalah salah satu ciri-ciri orang beriman, dan kejujuran adalah sumber segala kebaikan. Itu pula yang mendasari sikap Al dan ibunya, Siami, meski harus menderita.

Tapi kejujuran di negeri ini rupanya memang sangat berisiko. Perlahan namun pasti semakin tercipta mindset yang disepakati diam-diam bahwa bersikap jujur tidak akan berujung pada kesuksesan, khususnya dalam bidang bisnis dan politik. Tak heran jika para ilmuan dan akademisi yang terbiasa mengedepankan kejujuran ilmiah dan integritas moral, jarang sukses di bidang bisnis dan politik. Mereka dipaksa memilih pekerjaan yang tidak berisiko.

Kejujuran adalah mata uang yang berlaku universal, bisa digunakan di mana saja. Tapi di negeri di mana masyarakatnya terbiasa dipaksa berbohong dan mentolerir ketidakjujuran, budaya berbohong memang sudah mengikis budaya kejujuran. Sebab bersikap jujur dan apa adanya, akan rawan dijadikan musuh bersama, diperdaya, difitnah, bahkan dizalimi dan dibunuh.

Segudang kasus telah membuktikan hal ini. Ada kasus pembunuhan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin), wartawan SKH Bernas di Yogyakarta yang berani bersikap jujur menulis kebobrokan Orde Baru dan mengusik kemapanan penguasa lokal. Dan tentu Anda tak lupa kasus pembunuhan Munim Said Thalib, aktivis HAM yang getol mengungkap kebenaran penculikan para aktivis di era Orde Baru.

Oleh sebab itu, ketika muncul tokoh yang dipersonifikasikan sebagai orang sederhana, jujur, apa adanya, dan bertekad memperjuangkan kebenaran, maka ada pihak lain yang berusaha memfitnah, dan melakukan segala cara untuk mengajak orang lain menjadikannya musuh bersama.

Jokowi tak terkecuali. Di negeri yang didesain oleh orang-orang yang tidak jujur dan memanipulasi kekuasaan untuk kepentingan sendiri, sosok Jokowi dengan track record-nya yang selalu melawan arus dianggap sebuah ancaman, sehingga harus dijadikan musuh bersama.

Bahkan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thaja Purnama (Ahok), kader Partai Gerindra yang menjadi pesaing partai pendukung Jokowi-JK, merasa resah menyaksikan Jokowi difitnah. “Justru yang bahaya Pak Jokowi dong. Orang bersih, bagus, masyarakat malah cari-cari fitnahnya. Kalau masyarakat sampai percaya kan bahaya,” kata Ahok di Balaikota DKI, Jumat (23/5).

Pasangan Jokowi dalam Pilpres 2014, Muhammad Jusuf Kalla (JK), menilai serangan fitnah yang dialamatkan kepada mereka berdua lantaran keduanya tak memiliki dosa sosial. “Orang sering mencari dosa-dosa sosial kita. Kami tidak pernah korupsi atau melanggar HAM. Kita tidak ada dosa sosial, makanya orang carikan kita fitnah,” ujarnya, saat menghadiri acara silaturrahim nasional Alim Ulama PKB di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa (3/6).

Lantas mengapa Jokowi-JK begitu ditakuti dan harus difitnah agar tak berkuasa?
Bahkan ketika masih digadang-gadang untuk “masuk” Jakarta, Jokowi yang fenomenal di kampung halamannya, Solo, sudah ramai-ramai diserang dan berusaha dihambat untuk tidak sampai berkuasa.
Sepak terjang Jokowi di Solo yang dinilai dunia sebagai keberhasilan dan kelebihan yang dibutuhkan pemimpin saat ini, hendak dihentikan untuk tidak masuk Jakarta karena di Jakarta banyak politisi busuk, kader partai busuk, pengusaha busuk, dan kapitalis busuk yang tidak mau Jokowi mengurangi kekuasaan dan kenyamanan yang selama ini mereka nikmati.

Toh, warga DKI yang haus akan pemimpin jujur, mampu mengedepankan hati nurani dan mengantar Jokowi ke kursi gubernur. Rakyat yang menang.

Terbukti, baru satu tahun saja, Jokowi dan wakilnya dinilai cukup berhasil menaklukkan birokrasi yang menjadi sumber virus KKN di Jakarta. Gebrakan demi gebrakan pun diteruskan dan menuai reaksi positif masyarakat ibukota. Meski diserang bertubi-tubi, Jokowi terus memperbaiki kebobrokan tanpa terbebani kepentingan apapun.

Kemudian ketika Jokowi kembali didorong-dorong untuk ikut bersaing dalam Pilpres 2014, serangan lebih massif pun gencar dilancarkan. Kaum kapitalis, pengusaha busuk, politisi busuk, dan birokrasi busuk, semakin sadar jika Jokowi hadir dengan kekuasaan lebih besar lagi, tidak hanya Jakarta tapi seluruh Indonesia akan mengalami perubahan.

Jalan satu-satunya adalah mengunci kekuasaan Jokowi hanya di Jakarta. Karena dengan itu, Jakarta tidak akan memiliki UU yang akan membantu ibukota terbebas dari masalah. Dengan hanya menjadi gubernur, Jokowi tidak memiliki kekuatan untuk memaksa pemda sekitar Jakarta untuk membantu perubahan Jakarta. Ujungnya-ujungnya, Jokowi dinilai gagal mengatasi banjir dan kemacetan, dua penyakit kronis ibukota yang sesungguhnya baru bisa diatasi jika melibatkan pemda-pemda di sekeliling ibukota.

Tatkala Jokowi akhirnya resmi ditetapkan sebagai capres oleh PDI Perjuangan, Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura, dan kemudian memilih JK sebagai pendampingnya, para bakal capres yang sebetulnya sudah berkampanye dan memulai pencitraan jauh-jauh hari sebelumnya (bahkan tahunan sebelumnya), menjadi kian ketakutan. Jokowi tiba-tiba menjelma seolah raksasa yang harus ditahan lajunya, in any cost. Terlebih ia kini didampingi sosok perpengalaman yang tak kalah hebat dalam hal prestasi dan integritas.

Laki-laki kurus yang mewakili orang kebanyakan di Indonesia dalam berbagai hal, pemimpin yang berbicara apa adanya serta bersikap jujur, tegas, dan cepat mengambil keputusan, figur ndeso dengan track record bersih dengan prestasi terukur, sosok bersahaja yang memiliki mimpi-mimpi besar untuk rakyat dan bangsanya di atas panji-panji ke-Bhineka Tunggal Ika-an-, tiba-tiba menjadi “musuh bersama.”
Ironis memang perilaku sebagian masyarakat bangsa ini. Ironi yang lebih memiriskan adalah kenyataan bahwa serangan fitnah kepada Jokowi-JK banyak menggunakan sentimen dan atribut religius (Islam). Padahal, fitnah, penzaliman, pencemoohan, adalah hal-hal yang justru sangat dibenci dalam Islam.


Kebaruan vs Kemapanan
Anies Baswedan, tokoh yang dikenal cerdas dan bersih, memberikan jawaban jujur kenapa Jokowi harus dipilih, atau dalam perspektif lain, kenapa Jokowi-JK dimusuhi. Menurut Anies, Jokowi-JK adalah orang baik, dan keduanya memiliki unsur kebaruan. Itulah alasan ilmiah Anies menjatuhkan pilihan rasionalnya. Demikian juga sejumlah tokoh berintegritas, seperti, Faisal Basri dan Teten Masduki.

Kebaruan inilah yang boleh jadi sangat ditakuti oleh para penyerang atau mereka yang tak menginginkan Jokowi-JK memimpin Indonesia. Jadi sesungguhnya bukan sosok Jokowi atau JK secara personal yang ditakuti, melainkan apa yang sudah dan akan mereka kerjakan.

Kebaruan mencerminkan sebuah terobosan, out of the box, berada di luar pakem business as usual, melawan arus utama. Kebaruan-kebaruan gagasan yang ditawarkan Jokowi-JK tak hanya tertuang dalam visi misi, namun sesungguhnya sudah dipraktikkan dan dibuktikan manfaatnya oleh keduanya. Baik di masa kepemimpinan Jokowi di Solo dan DKI Jakarta, maupun di masa JK menjabat Wakil Presiden RI 2004-2009.

Berikut beberapa kebaruan yang pernah dipraktikkan Jokowi maupun JK.
  • Revitalisasi pasar-pasar tradisional dan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL). Ini bukan cuma wacana dan terbukti bukan pepesan kosong, sebab sudah dilakukan secara nyata dan berhasil, baik di Solo maupun di Jakarta. Dalam sebuah wawancara, Jokowi secara tegas menyebut pasar tradisional dan juga para pedagang kaki lima (PKL), sesungguhnya adalah urat nadi kehidupan dan ril perekonomian sebagian besar rakyat Indonesia. Jika pemimpin terdahulu melihat pasar tradisional dan PKL sebagai kekumuhan, maka Jokowi melihatnya sebagai potensi besar. Maka ribuan PKL berhasil ia pindahkan ke tempat yang lebih layak, tanpa menggunakan cara-cara lama yang represif. Praktik pungli pun berhenti.
  • Pendekatan sistemik dalam birokrasi. Jika selama ini orang melihat birokrasi selalu tidak efisiensi dan korup, Jokowi mampu membuktikan bahwa imej buruk yang tercipta sesungguhnya tergantung pada siapa yang memimpin. Menurutnya, PNS dan aparat birokrasi kita sebetulnya memiliki kapasitas dan kapabilitas. Hanya saja, cara menggerakkan organisasinya yang keliru, dan sistemlah yang perlu dibenahi. Ia membuktikannya di Solo dan juga Jakarta. Mengurus KTP di Solo bisa selesai dalam satu jam, padahal dulu memakan waktu 2-3 minggu. Mengurus izin yang dulu memakan waktu hingga delapan bulan, bahkan kadang tidak jelas, sekarang enam hari bisa rampung. Caranya sederhana, Jokowi membuat sistem, dan siapapun yang tidak bisa masuk dalam sistem itu, ia pecat, seperti nasib tiga lurah, satu camat, dan dua kepala dinas di Solo.
  • Lelang jabatan. Kebaruan yang dilakukan Jokowi dengan menerapkan lelang jabatan, merupakan kebijakan berani sebagai dasar reformasi pemerintahan yang bersih secara keseluruhan. Terlebih-lebih pada pemberantasan korupsi, Pemda DKI di bawah Jokowi jauh lebih terbuka pada penegakan hukum. Contohnya, kasus Bus Transjakarta justru Jokowi yang memerintahkan proses audit BPKP dan membawa hasilnya kepada kejaksaan.
  • Menolak transaksi politik. Bertentangan dengan arus utama dalam panggung politik Indonesia, Jokowi menolak tegas politik transaksional dan memilih mengembangkan koalisi gagasan. Jokowi bergeming, meskipun harus menerima cemooh, tidak disukai oleh elit-elit politik, serta dianggap sebagai arogansi dan kenaifan politik. Terutama oleh para elite politik yang merasa tidak mendapatkan jaminan jabatan/kursi jika bergabung dengan Jokowi. Tentu saja realitas politik mengharuskan adanya koalisi politik dan power sharing. Namun bagi Jokowi, power sharing tidak boleh terjadi pada fase membangun koalisi. Koalisi dalam pemenangan presiden harus didasarkan pada ketulusan berjuang untuk mewujudkan gagasan, bukan termotivasi jabatan.
  • Crowd Funding. Melalui rekening dukungan dan mempublikasikannya secara transparan, Jokowi mampu mengajak partisipasi publik yang dapat mendorong transparansi pengelolaan dana kampanye. Ini tidak sepenuhnya baru, sebab Faisal Basri pernah melakukannya dalam Pilkada DKI. Namun Jokowi meningkatkan levelnya ke skala nasional.
  • Gaya kepemimpinan dan kebijakan yang merakyat. Jokowi menempatkan rakyat sebagai mitra dalam melaksanakan kerja-kerja pemerintahan. Dalam hal kebijakan, ia memposisikan diri berada di pihak rakyat. Melalui diplomasi dialog, berbaur, dan sentuhan tangan secara langsung, Jokowi memunculkan model kepemimpinan gaya baru yang sangat efektif dalam menyerap aspirasi bawah. Tudingan bahwa gaya itu sekadar pencitraan untuk pilpres, otomatis terbantah dengan sendirinya jika mau menengok ke belakang melihat awal-awal kepemimpinannya di Solo.
  • Rekam jejak penegakan hukum. Jika mau jujur menelusuri rekam jejak Jokowi, akan terlihat ketegasannya dalam hal penegakan hukum dan penertiban sistem di mana pun ia diberi wewenang untuk itu. Konsistensi seperti itu tentu membuat takut siapa saja yang terlanjur memiliki mindset bahwa memegang jabatan adalah ‘tiket terusan’ untuk menjadi kaya dan berkuasa. Atau membuat risau siapapun yang terlanjur memercayai bahwa urusan karier dan bisnis akan lebih mudah melalui cara-cara tidak jujur. Janji Jokowi-JK untuk membuat koruptor jera, tentulah menjadi ancaman yang menggidikkan bagi para koruptor dan mereka yang selama ini mentolerir korupsi.
  • Terputus dari masa lalu. Dari semua bakal capres yang sempat muncul, kemudian mengerucut menjadi dua, Jokowi adalah tokoh yang tak memiliki beban masa lalu, baik masa Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Reformasi. Ia tidak datang dari masa-masa itu, ia lahir dari bawah, dari rakyat. Tak kurang media asing terkemuka, Reuters, menyebutnya sebagai pemimpin dari generasi baru. Reuters menyebut fenomena Jokowi sebagai kesempatan Indonesia untuk beristirahat dari pemimpin tua yang selama ini mendominasi.
  • Revolusi mental. Ketika para elite pemimpin lebih banyak berbicara dan membahas diskursus penyelesaian masalah-masalah bangsa dan negara di area hilir, Jokowi berpikir hulu dengan cara baru. Bagi Jokowi, jawaban dan solusi segala persoalan adalah revolusi mental, yang dimulai sejak dini di tingkat pendidikan dasar. Harus diakui, sejak 1970-an bangsa ini sudah dihadapkan pada masalah yang didasari buruknya mental, seperti, korupsi, haus kekuasaan/jabatan, konsumtif, melupakan akar budaya, intoleran, kekerasan, dan pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyatnya. Revolusi Mental ini, dalam bahasa Keluarga Besar Pecinta Ka’bah yang mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi-JK, pada 5 Juni 2014 lalu di Posko Cokro 100, Jakarta, salah satunya dengan mengubah kurikulum pendidikan nasional , dari tingkat SD, SLTP, SLTA, yang lebih memperhatikan pendidikan budi pekerti (akhlaqul karimah) yang sejak era reformasi ditanggalkan. Kondisi itu terus berlanjut meski reformasi telah berjalan selama 16 tahun. Jokowi hadir dengan gagasan baru yang mendahulukan nation character building. “Kita ini kan selalu bicara mengenai fisik dan ekonomi. Padahal, kekurangan besar kita adalah character building. Kita adalah negara besar, tapi sering tidak percaya diri dalam menghadapi tantangan zaman. Oleh sebab itu perlu ada revolusi mental,” demikian Jokowi.
  • Mewajibkan pakai sepatu buatan lokal. Jusuf Kalla dikenal sangat menggandrungi produk lokal buatan negeri sendiri. Saat menjabat wakil presiden, ia mewajibkan para pejabat dari tingkat menteri untuk mengenakan sepatu buatan dalam negeri dalam bekerja. Hal-hal seperti ini, tentu sangat tidak nyaman bagi elite pejabat yang sudah terbiasa konsumtif dengan produk asing.

Dalam buku Les Nouveaux Maitres du Monde (2002), Jean Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark, di mana para pejabat tingginya berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor.

Rumah para pemimpin terkenal Eropa, seperti, Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka. Jauh berbeda dengan istana kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan, semakin miskin sebuah bangsa, semakin mewah kehidupan dan perilaku aneh elite penguasanya. Rakyat banyak dipaksa memahami dan menerima, dan jika ada kesempatan, ‘dipersilakan’ untuk meniru.

Jokowi hadir menelanjangi kita semua, membongkar kemunafikan kita, mengetuk sanubari kita bahwa moralitas bangsa Indonesia saat ini memang sudah mencapai titik kritis. Kebenaran itu memang pahit, tapi alangkah celakanya jika kita hanya berdiam diri, apalagi menolak kenyataan. Sebab sama saja dengan menzalimi negeri tumpah darah Indonesia.

Jokowi dizalimi, tapi ia membuka mata hati bahwa sesungguhnya sudah sekian lama kita menzalimi diri sendiri. Indonesia memang membutuhkan revolusi jilid kedua setelah 1945, itulah Revolusi Mental.
Apakah bangsa Indonesia siap? Maka iklan “Jokowi Adalah Kita” yang ditayangkan di televisi perlu kita renungkan bersama.

Kita ingin pemimpin jujur
Kita ingin pemimpin bersih
Kita ingin pemimpin sederhana

Tapi siapkah kita dipimpin untuk  menjadi jujur?
Siapkah kita dipimpin untuk menjadi bersih?
Siapkah kita dipimpin untuk menjadi sederhana?

Bersama pemimpin yang lahir dari rakyat,
Kita siap menjadi indonesia yang sebenarnya
Jokowi-JK adalah kita.