Laporan Khusus Jokowi-JK (Part 1): Mengapa Jokowi Dizalimi?

Dalam literatur studi ilmu politik, John Geer (2006) menyebut kampanye negatif sebagai segala bentuk kritik yang dilancarkan seorang kandidat terhadap lawannya dalam kampanye. Disebut negatif karena dilakukan dalam upaya meningkatkan keraguan tentang lawan, bukan menunjukkan mengapa seorang kandidat layak dipilih. Wujudnya bisa beragam, termasuk membicarakan lawan dengan mengkritik visi dan misinya, pencapaian, kualifikasi, dan lain-lain.
Ini berbeda dengan kampanye hitam yang menggunakan taktik kotor alias kecurangan fitnah dan tipu daya. Sebut contoh skandal Watergate di AS pada 1974, ketika terungkap sebuah unit dalam tim kampanye capres Nixon bertugas menyiarkan kabar bohong serta menyadap dan melakukan operasi intelijen untuk menghancurkan karakter pesaingnya dalam pilpres 1972.
Di AS, kampanye negatif adalah praktik yang lazim terjadi dan bahkan lebih brutal dari pada di Indonesia. Barack Obama, misalnya, pernah dituding tidak dilahirkan di Amerika, diam-diam seorang muslim, dan dipercaya ingin membentuk korps pertahanan sipil semacam Gestapo di masa Nazi Jerman.
Kampanye negatif bisa dilakukan oleh kubu manapun. Menurut David Damore (2002), ada empat variabel yang menentukan mengapa suatu kubu memilih melakukan kampanye negatif.
Pertama, jarak waktu menuju pilpres. Semakin dekat menuju pilpres, semakin masyarakat akan dibanjiri kampanye negatif karena pada masa-masa itulah kampanye positif mencapai titik jenuh dan pemilih butuh pembedaan konkret antarcalon.
Kedua, perilaku lawan di masa sebelumnya. Semakin seorang calon disudutkan di masa awal kampanye, semakin gigih pula ia akan membalas dengan mendiskreditkan lawan. Ketiga, posisi elektabilitas dalam jajak pendapat. Lebih mudah bagi calon yang merasa tertinggal untuk menegasikan prestasi lawan, ketimbang mengangkat isu tertentu yang belum tentu disambut baik pemilih.
Keempat, karakter isu yang dianggap menonjol dan ampuh menggalang dukungan dalam pemilu. Seringkali isunya sengaja ingin memecah belah kelompok, karena dikotomi macam itu yang membantu melahirkan karakter aliran pendukung bagi parpol-parpol.
Menurut Dinna Wisnu, Co-founder dan Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina, kemungkinan pemilih Indonesia dibanjiri kampanye negatif memang tinggi jika melihat keempat variabel tadi.
Dari segi waktu kampanye, durasi kampanye resmi pilpres terbilang sangat singkat hanya sekitar 39 hari. Di AS, masa kampanye pilpres resmi dimulai saat primary (pemilu awal) dan makin gencar saat konvensi partai digelar, artinya ada 9-11 bulan. Pada masa-masa itulah keasyikan pemilih membandingkan capres dan cawapres terus dipupuk. Tapi sekitar sebulan sebelum pilpres, nyaris tak ada lagi diskusi yang produktif di televisi, radio, ataupun jejaring sosial. Yang terjadi saling tuding, saling cerca, serta dengan istilah dan gambar-gambar vulgar bahkan kejam.
“Sudah beberapa kali pilpres saya lalui di AS dan rata-rata orang memilih tidak menonton televisi dan tidak berdiskusi politik menjelang pilpres karena sudah muak. Bedanya, di Indonesia para pemilih nyaris tak punya pilihan lain karena waktu kampanye telanjur sangat pendek,” sebut Dinna dalam tulisannya di Kompas, Rabu (4/6).
Dinna mengingatkan pemilih harus mampu menerima tantangan demokrasi ini dengan kedewasaan dalam menanggapi, berpikir, dan bertindak. Perpecahan politik yang sempat memunculkan konflik berdarah di sejumlah negara demokrasi di Eropa dan AS terkait agama, ras, kelompok kaya dan kaum pekerja, kaum bangsawan dan rakyat jelata, harus mampu diantisipasi di Indonesia.
“Yang paling perlu diwaspadai saat ini adalah isu SARA, karena parpol di Indonesia terbelah secara horizontal dalam politik aliran yang basisnya kaum sekuler/nasionalis versus kaum religius/agamis. Pengalaman berdarah dari demokrasi yang usianya sudah ratusan tahun hendaknya menjadi pelajaran untuk menyikapi masa-masa ini dengan lebih bijak.” Pul