Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI, Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan mengemukakan bahwa jenis desentralisasi ada dua yakni desentralisasi simetris dan desentralisasi asimetris. Desentralisasi simetris semisal otonomi daerah. Sedangkan desentralisasi asimetris adalah otonomi khusus.
Dikemukakannya, desentralisasi simetris lebih bersifat tugas pembantuan, delegasi, privatisasi, dan dekonsentrasi/field-administration. Sementara desentralisasi asimetris atau otonomi khusus (otsus) lebih bersifat kekhususan wilayah.
Jadi sejatinya, konsep otsus adalah satu, pelimpahan kewenangan atau transfer of power dibidang politik, ekonomi, sosial, fiskal dan administrasi. Kedua, diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau daerah-daerah tertentu. Ketiga, otsus bertujuan untuk efisiensi pelayanan publik, efektifitas pemerintahan, pengembangan demokrasi, dan untuk merangkul daerah yang tengah bergejolak atau terjadi konflik. Keempat, otsus bisa menjadi alat membangun daerah dan menciptakan perekonomian yang lebih baik.
Dasar pertimbangan otsus itu sendiri adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 18B ayat 1. Dimana disitu disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Model desentralisasi asimetris system otsus ini sudah banyak diterapkan tak hanya di Indonesia tapi juga di beberapa Negara dengan berbagai pertimbangan. Dalam sejarahnya, pemberian otsus dengan pertimbangan daerah konflik misalnya, pernah diberikan kepada Papua dan Aceh di Indonesia, wilayah Bougenvile di Papua New Ginea (PNG), Quebec di Kanada, Mindanau Selatan di Filipina, dan di wilayah Bass di Spanyol.
Model desentralisasi asismetris dengan pertimbangan budaya, diberikan Indonesia kepada Yogyakarta dengan Daerah Istimewa yang disandang provinsi tersebut. Sementara pertimbangan sebagai ibu kota sebuah Negara diberikan kepada DKI Jakarta dan Washington DC di Amerika Serikat. Sedangkan karena pertimbangan daerah perbatasan diberikan kepada Kalimantan Barat yang berpotensi menuju otonomi khusus. Sedangkan pemberian desentralisasi asimetris dengan pertimbangan keuangan diberikan pemerintah Thailand kepada Pattaya.
Desentralisasi asismetris dapat menjadi jalan untuk menyejahterakan suatu daerah atau provinsi sepanjang terdapat kewenangan yang asimetris yakni keluasan dan kedalaman kewenangan. Lalu ada kelembagaan khusus yang menyejahterakan, kapasitas fiskal yang memadai, pengelolaan keuangan daerah yang menyejahterakan, dan tentunya ada pengawasan dan asistensi dari pemerintah pusat yang efektif, check and balances antar lembaga pemerintahan daerah serta pengawasan publik.
Namun demikian, meski terdengar indah, penerapan otsus juga bisa berbuah kegagalan karena faktor formulasi otsus yang tidak jelas, tidak rinci dan detail, tidak tuntas, terlalu berlebihan dan tidak lengkap. Di sisi lain, bukan tidak mungkin juga ada pihak yang menolak otsus di suatu daerah. Sementara dari daerah faktor yang bisa membuat otsus gagal adalah karena pemerintahan daerah bersangkutan tidak kreatif, tidak inovatif, tidak responsif, tidak kapabel, dan tidak kompak.
Sedangkan kegagalan otsus bisa juga terjadi jika pemerintah pusat kurang serius, kurang konsisten, kurang ikhlas, kurang memfasilitasi, kurang membimbing, dan kurang mengawasi.
Lalu bagaimana agar desentralisasi asimetris itu berhasil ? Ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Isi kebijakan desentralisasi asimetris harus lebih akomodatif terhadap aspirasi dan budaya lokal, sehingga sistem pemda lebih sesuai dengan realitas.
2. Proses pembuatan kebijakan desentralisasi a
simetris harus lebih partisipatif dengan melibatkan pemda, akademisi, dan masyarakat setempat.
3. Implementasi kebijakan desentralisasi asimetris harus konsisten dan dikawal. n
Dikemukakannya, desentralisasi simetris lebih bersifat tugas pembantuan, delegasi, privatisasi, dan dekonsentrasi/field-administration. Sementara desentralisasi asimetris atau otonomi khusus (otsus) lebih bersifat kekhususan wilayah.
Jadi sejatinya, konsep otsus adalah satu, pelimpahan kewenangan atau transfer of power dibidang politik, ekonomi, sosial, fiskal dan administrasi. Kedua, diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau daerah-daerah tertentu. Ketiga, otsus bertujuan untuk efisiensi pelayanan publik, efektifitas pemerintahan, pengembangan demokrasi, dan untuk merangkul daerah yang tengah bergejolak atau terjadi konflik. Keempat, otsus bisa menjadi alat membangun daerah dan menciptakan perekonomian yang lebih baik.
Dasar pertimbangan otsus itu sendiri adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 18B ayat 1. Dimana disitu disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Model desentralisasi asimetris system otsus ini sudah banyak diterapkan tak hanya di Indonesia tapi juga di beberapa Negara dengan berbagai pertimbangan. Dalam sejarahnya, pemberian otsus dengan pertimbangan daerah konflik misalnya, pernah diberikan kepada Papua dan Aceh di Indonesia, wilayah Bougenvile di Papua New Ginea (PNG), Quebec di Kanada, Mindanau Selatan di Filipina, dan di wilayah Bass di Spanyol.
Model desentralisasi asismetris dengan pertimbangan budaya, diberikan Indonesia kepada Yogyakarta dengan Daerah Istimewa yang disandang provinsi tersebut. Sementara pertimbangan sebagai ibu kota sebuah Negara diberikan kepada DKI Jakarta dan Washington DC di Amerika Serikat. Sedangkan karena pertimbangan daerah perbatasan diberikan kepada Kalimantan Barat yang berpotensi menuju otonomi khusus. Sedangkan pemberian desentralisasi asimetris dengan pertimbangan keuangan diberikan pemerintah Thailand kepada Pattaya.
Desentralisasi asismetris dapat menjadi jalan untuk menyejahterakan suatu daerah atau provinsi sepanjang terdapat kewenangan yang asimetris yakni keluasan dan kedalaman kewenangan. Lalu ada kelembagaan khusus yang menyejahterakan, kapasitas fiskal yang memadai, pengelolaan keuangan daerah yang menyejahterakan, dan tentunya ada pengawasan dan asistensi dari pemerintah pusat yang efektif, check and balances antar lembaga pemerintahan daerah serta pengawasan publik.
Namun demikian, meski terdengar indah, penerapan otsus juga bisa berbuah kegagalan karena faktor formulasi otsus yang tidak jelas, tidak rinci dan detail, tidak tuntas, terlalu berlebihan dan tidak lengkap. Di sisi lain, bukan tidak mungkin juga ada pihak yang menolak otsus di suatu daerah. Sementara dari daerah faktor yang bisa membuat otsus gagal adalah karena pemerintahan daerah bersangkutan tidak kreatif, tidak inovatif, tidak responsif, tidak kapabel, dan tidak kompak.
Sedangkan kegagalan otsus bisa juga terjadi jika pemerintah pusat kurang serius, kurang konsisten, kurang ikhlas, kurang memfasilitasi, kurang membimbing, dan kurang mengawasi.
Lalu bagaimana agar desentralisasi asimetris itu berhasil ? Ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Isi kebijakan desentralisasi asimetris harus lebih akomodatif terhadap aspirasi dan budaya lokal, sehingga sistem pemda lebih sesuai dengan realitas.
2. Proses pembuatan kebijakan desentralisasi a
simetris harus lebih partisipatif dengan melibatkan pemda, akademisi, dan masyarakat setempat.
3. Implementasi kebijakan desentralisasi asimetris harus konsisten dan dikawal. n