Miryam S. Haryani Srikandi Membangun Negeri

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 17 February 2015
Naskah: Sahrudi, Foto: Dok. MO & Dok Pribadi
Namanya langsung bersinar saat menerjuni dunia politik dan duduk sebagai wakil rakyat di DPR RI. Suara kritis saat rapat kerja dan keberpihakannya kepada kaum perempuan sangat kental dalam perjuangannya di parlemen. Ia rela meninggalkan kesuksesan bisnis demi perjuangannya itu. Miryam S. Haryani, adalah salah satu politisi perempuan yang memiliki visi yang jelas dalam perjuangannya.


Lahir dan besar di lingkungan tentara menjadikan perempuan satu ini tampil sebagai sosok yang tangguh dan  berani. Anggota Komisi V dari Fraksi Partai Hanura kelahiran Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat, ini sudah sejak kecil menjalani kehidupan yang disiplin. Maklum, ayahnya seorang tentara.

Ketegasan dan keberanian sang ayah menular ke dalam dirinya hingga kemudian membentuk karakternya sebagai perempuan yang ‘keras’ baik sebagai anggota DPR RI maupun sebagai aktivis perempuan. Ketegasan dan keberaniannya itu, salah satunya bisa terlihat saat ia tampil dalam rapat kerja dengan kolega Komisi V yang membidangi masalah perhubungan, komunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan pedesaan, dan kawasan tertinggal.

Sementara soal keberpihakannya kepada kaum perempuan, adalah komitmen yang tak perlu diragukan dari seorang Miryam S. Haryani. Kepeduliannya terhadap sesamanya ini bukan sesuatu yang baru bagi Miryam. Karena itulah ia didaulat oleh Partai Hanura untuk memimpin organisasi massa perempuan bernama “Srikandi Hanura” sebagai sayap organisasi partai besutan Jenderal (Purn) Wiranto ini.

Pilihannya menempuh karir di politik juga tumbuh secara alamiah dari kegemarannya berorganisasi sejak sekolah dulu. “Sejak SMP, SMA dan kuliah saya merasa apa-apa yang pernah saya lakukan dulu kok ya seperti seorang politisi. Itu baru saya sadari belakangan. Misalnya, waktu pemilihan ketua OSIS baik di SMP dan SMA, saya sudah bisa melobi teman-teman, berkampanye kepada teman-teman bahwa saya bisa menjadi ketua OSIS, eh ternyata apa yang saya lakukan berhasil. Mereka terpengaruh dengan kampanye saya. Alhamdulillah terpilih. Nah, sekarang saya sadar, jangan-jangan apa yang saya lakukan dulu waktu SMP atau SMA itu kalau sekarang ini bisa dibilang sebuah manuver politik..hahahaha,” ujarnya dengan tawa lepas.

Mengawali karir politik di Partai Bintang Reformasi (PBR) sebagai Wakil Sekjen Bidang pemenangan Pemilu, adalah tempat dimana ia belajar mengatur strategi pemenangan sebuah partai politik. Tak lama kemudian, ia diajak politisi senior Djafar Badjeber berkiprah di Partai Hanura yang didirikan tahun 2006 karena waktu itu PBR terjadi konflik antarpengurus. Itu menjadi pelajaran politik pertamanya bahwa mengelola sebuah partai politik tidak seperti membalik telapak tangan. Ada banyak konflik di dalamnya. “Saya malas melihat kaya gitu. Oh ternyata politik itu kaya begitu, hanya bagi bagi kekuasaan saja. Sempat kecewa, akhirnya saya mengundurkan diri dari PBR,” kenangnya.

Tapi ia tidak langsung men-judge bahwa politik itu kotor. Karena masih ada sisi bersih dari politik itu sendiri. Karena itu ia masih meyakini bahwa hanya orang-orang bersih dan tulus berjuang dalam partai yang dapat membawa politik itu menjadi bersih. Partai politik, diakuinya masih menjadi instrumen penting dalam pemerintahan sebuah negara dan mewujudkan cita-cita untuk menyejahterakan bangsa Indonesia. Karena itulah ia bertahan dan ia buktikan bahwa ia bisa berjuang untuk rakyat melalui partai Hanura di DPR.

Apa yang dikemukakannya bukan sekadar lips service. Terbukti dalam setiap kali rapat kerja dengan kolega Komisi V ia tampil sangat tegas dan trengginas. Misalnya saat Raker dengan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, ia tegas meminta Jonan untuk sesekali melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke jembatan timbang di jalur pantai utara (pantura), khususnya yang ada di sekitar ruas Cikampek-Kanci. Ia menantang Jonan melakukan gebrakan disana. “Kami tunggu gebrakan Pak Menteri. Jangan hanya kereta api yang bagus, tetapi semua, bandara, jalan raya,” tegasnya.

Bahkan, pernah suatu ketika saat Komisi V DPR mengadakan Raker dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) Basuki Hadimuljono, ia mempertanyakan anggaran Kementerian PUPR sebesar Rp 119 triliun apakah benar-benar akan dirasakan oleh masyarakat atau tidak. “Bapak ini kan dipilih presiden. Saya lihat memang Pak Menteri bisa menerjemahkan Nawacita Pak Jokowi dan Pak JK. Tapi apakah Bapak sudah membuat program yang di dalamnya mencantumkan aspirasi dewan yang dipilih rakyat?” tanyanya dengan tegas.