Miryam S. Haryani Srikandi Membangun Negeri

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 17 February 2015
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Miryam sudah menunjukkan sifat yang berbeda dari rekan-rekannya. Ia tidak pendiam sebagaimana kebanyakan anak perempuan sebayanya saat itu. Jika melihat sesuatu yang dianggapnya tidak layak, ia akan bertindak. Apalagi kalau sudah menyangkut tindakan yang dianggap merendahkan perempuan. Contohnya, saat SMA ia pernah ‘ribut’ dengan salah satu gurunya hanya karena sang guru, menurut Miryam, bercanda terlalu berlebihan dengan salah seorang murid perempuan yang juga sahabatnya.

Alih-alih ingin mendapatkan dukungan dari guru yang lain, ia malah mendapatkan hukuman berlari mengelilingi lapangan karena Miryam dianggap mencemarkan nama baik si guru. Ia pun protes dengan mengumpulkan teman-temannya untuk melakukan unjuk rasa.

Sikap dan sifatnya itulah yang kemudian membuat ia mudah mendapatkan teman. Tak heran kalau ia kerap dipilih sebagai ketua OSIS dan pemimpin dalam organisasi ekstra kurikuler sejak SMP hingga SMA. “Saya ingat waktu SMP pemilihan OSIS. Waktu itu saya maju dan saingannya laki laki. Sebelum pemungutan suara, saya kumpulkan teman-teman dan saya lobi mereka. Kepada anak-anak perempuan saya katakan bahwa saatnya ketua OSIS harus dari perempuan. Karena perempuan itu lebih rapih kerjanya. Akhirnya saya kepilih. Jadi cara mempengaruhi orang itu, saya itu lebih condong berani dan agak “nakal”, nggak ngerti saya. Kalau ibaratnya di sini sekarang politik, manuver dan negosiasi sudah saya terapkan sejak SMP,” kenangnya sambil tertawa.

Keberaniannya menentang ‘arus’ tak hanya dilakukan di sekolah. Di lingkungannya sendiri, ia mencoba untuk berani mengatakan ‘tidak’ terhadap apa yang dianggapnya melemahkan dan menyudutkan perempuan. Seperti misalnya soal kawin muda, yang ketika itu sudah dianggap jamak di kampungnya, bagi Miryam itu tidak bisa dibenarkan. “Ada kebiasaan di kampung saya kalau musim paceklik anak perempuan dikawinkan dengan pegawai pertambangan minyak yang ketika itu memang banyak terdapat di Indramayu,” ceritanya. Ia kemudian berinisiatif membentuk sebuah komunitas kaum perempuan di daerahnya. Kebetulan zaman itu sedang musim radio panggil atau intercom yang ada di setiap rumah. Dengan alat itu ia memprovokasi anak-anak perempuan untuk jangan mau dikawinkan dalam usia muda.

“Saya bikin komunitas di kampung saya itu, saya bilang pokoknya jangan terpengaruh sama orang orang yang kaya gitu. Jangan mau dikawin kawinin, pokoknya pikir sekolah saja dulu, minimal sampai SMA,” ia tertawa. Memang apa yang dilakukannya tidak sepenuhnya bisa membuat perubahan besar, tapi setidaknya ia telah berbuat untuk membangun kesadaran teman-temannya agar tidak mudah dieksploitasi dan dikorbankan.