Sanitiar Burhanuddin (Jaksa Agung RI), Menabur Kerja Hebat, Menuai Kepercayaan Rakyat

Oleh: Syulianita (Editor) - 15 August 2024

Penegakan Keadilan Restoratif

Di samping membenahi internal kejaksaan, Kejaksaan Agung juga melakukan penegakan hukum dengan cara yang transparan dan humanis. Yakni dengan menerapkan restorative justice. Restorative justice, atau keadilan restoratif, merupakan sebuah pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Jadi, bukan sekadar pembalasan terhadap pelaku tindak pidana. Pendekatan ini bertujuan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan hubungan antara pelaku dan korban, serta memperbaiki komunitas yang terkena dampak tindak pidana.

Jaksa Agung ST Burhanuddin telah menerapkan keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian perkara, dengan fokus pada pemulihan dan penyelesaian konflik. Pendekatan ini memungkinkan pelibatan unsur masyarakat dalam upaya perdamaian dengan pendekatan keadilan restoratif, yang melibatkan pihak korban, tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain. Restorative justice juga diimplementasikan melalui pembentukan 4.784 Rumah Restorative Justice dan 111 Balai Rehabilitasi, sebagai wadah untuk menyerap nilai-nilai kearifan lokal serta menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat dalam proses penyelesaian perkara.

Selain itu, ST Burhanuddin juga menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang menjadi landasan hukum bagi penerapan restorative justice dalam penanganan perkara tindak pidana. Dengan diterbitkannya peraturan ini, ada 4.443 perkara berhasil diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif. Pendekatan ini diharapkan dapat mempersingkat proses peradilan yang berkepanjangan serta menyelesaikan isu kelebihan kapasitas narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Dengan menerapkan keadilan restoratif, Jaksa Agung ST Burhanuddin berupaya untuk memberikan kepastian hukum yang responsif, mengakomodir pergeseran nilai hidup dan keadilan masyarakat, serta menjadikan proses penegakan hukum lebih humanis dan terintegrasi dengan kearifan lokal.

Kendati demikian, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin awalnya meragukan penerapan restorative justice di kalangan jaksa. Ia khawatir akan ketidaksetaraan definisi restorative justice di antara penegak hukum yang dapat disalahgunakan. Ia juga merasa bahwa penerapan restorative justice oleh aparat penegak hukum yang tidak memiliki integritas dan objektivitas dapat menjadi riskan dan berpotensi menyulitkan proses penegakan hukum. 

Atas landasan itulah Jaksa Agung membentuk Satuan Tugas (Satgas) 53 sebagai respons terhadap permasalahan internal kejaksaan. Khususnya terkait dengan penerapan restorative justice dan kekhawatiran akan perilaku jaksa nakal. Namun seiring waktu, pembentukan Satgas 53 tidak hanya terkait dengan pengawasan restorative justice, tetapi berkembang menjadi alat untuk mencegah perilaku jaksa nakal, melibatkan pengawasan internal, disiplin, dan penanganan dugaan pelanggaran etika.

Satgas 53 memiliki fokus khusus pada pencegahan dan deteksi dini terhadap oknum jaksa atau pegawai Kejaksaan yang diduga melakukan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, atau perbuatan tercela lainnya. Terdapat tiga tim di Satgas 53 yang bertanggung jawab atas penerimaan laporan masyarakat, deteksi dini, dan tindakan berdasarkan hasil laporan.

Meski begitu, Jaksa Agung Burhanuddin menegaskan bahwa Satgas 53 akan menindak tegas praktik tawar-menawar dan menyimpang tanpa memandang bulu. Tujuannya adalah mencegah praktik tawar-menawar yang dapat merugikan integritas penegakan hukum dan menjaga kinerja jaksa di Kejaksaan Agung. Lebih lanjut, pembentukan Satgas 53 dianggap sebagai langkah positif untuk memperkuat dan mempercepat kinerja intelijen dan pengawasan di lingkungan Kejaksaan Agung, demi menjadikan kejaksaan sebagai lembaga yang bersih dan berintegritas.

Dalam kurun 2020-2022, Kejaksaan Agung telah menyetop 2.103 perkara lebih lewat restorasi justice sehingga menghadirkan keadilan untuk semua. Sedangkan pembangunan Rumah Restoratif Justice tercatat sudah mencapai 4617 Rumah Restoratif Justice. Sementara pembangunan Balai Rehab (Per Juni 2024) mencapai 112 Unit Rumah Rehabilitasi.

Meskipun tujuan pembentukan restorative justice merupakan langkah inovatif yang bertujuan mulia, Jaksa Agung ST Burhanuddin tidak luput dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utamanya adalah perubahan paradigma dalam sistem peradilan yang sudah berjalan selama puluhan tahun. Masyarakat dan pelaku hukum sering kali resisten terhadap perubahan sehingga diperlukan pendekatan yang hati-hati dan penuh kesabaran untuk memperkenalkan konsep restorative justice. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan juga konsolidasi dan kerja sama yang lebih erat antara para pemangku kepentingan, termasuk praktisi dan akademisi.

Selain itu, sumber daya yang terbatas juga menjadi tantangan dalam membangun legasi sehingga dibutuhkan investasi yang signifikan dalam pelatihan, pendidikan, dan infrastruktur untuk mendukung implementasi konsep ini secara efektif. Jaksa Agung ST Burhanuddin harus berjuang untuk mengamankan dukungan finansial dan sumber daya lainnya dalam menjalankan program Restorative Justice hingga mencapai keberhasilan.

Beberapa tantangan lain yang juga dihadapi dalam pembentukan restorative justice adalah pertama, kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep keadilan restoratif. Dalam hal ini, banyak yang masih terpaku pada pandangan tradisional tentang hukuman sebagai satusatunya cara untuk mengatasi tindakan kriminal. Kedua adalah infrastruktur yang kurang mendukung seperti pusat mediasi, pelatihan untuk mediator, dan fasilitas tempat pertemuan yang kurang memadai. 

Ketiga, yakni rendahnya kesadaran hukum dan hak-hak mereka dalam sistem peradilan. Hal ini dapat menjadi kendala dalam melibatkan mereka dalam proses restorative justice. Terakhir, yakni Resistensi dari pihak-pihak yang tidak setuju terhadap pendekatan restorative justice karena anggapannya terlalu lemah terhadap pelaku kejahatan.

Mengingat tantangan-tantangan itu tidak bisa diatasi oleh Jaksa Agung sendiri, ia mengajak semua pihak untuk meningkatkan sinergitas dan kolaborasi dalam mengembangkan dan menerapkan keadilan restoratif, dengan tetap mempertahankan idealisme dan melibatkan kearifan lokal. Ini bukan hanya tentang perubahan dalam regulasi, tetapi juga tentang perubahan dalam mindset dan praktik hukum, menuju pencapaian keadilan yang hakiki bagi seluruh masyarakat Indonesia.