Ismed Hasan Putro, Sang "Pendobrak"

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 10 October 2014
Awal Ismed berkiprah di RNI adalah ketika Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu menawarinya untuk menjadi komisaris di perusahaan negara tersebut pada tahun 2008. “Jadi yang sebenarnya ngejorogin saya ke RNI, ya Pak Said Didu itu,” ia tertawa. Selama empat tahun ia jadi komisaris, Ismed mengaku mendapatkan banyak pelajaran RNI sebagai perusahaan holding yang berbeda dengan mengelola perusahaan yang entitasnya tunggal. “Bayangkan ada 13 perusahaan yang satu dengan yang lainnya tidak ada korelasi, ada perusahaan gula, CPO, farmasi, kondom, pabrik kulit yang di ekspor, ada perusahaan karung plastik, sangat multi, ada kebun teh, perusahaan trading yang memperdagangkan kebutuhan hidup, jadi macam-macamlah dan itulah RNI,” ungkapnya.

Karenanya ketika ia ditunjuk sebagai Dirut RNI di tahun 2012, ia sudah siap mengurusi perusahaan holding dengan 13 jenis usaha di dalamnya. “Pagi saya bicara tebu, siang bicara sapi, sore bicara kondom..hahaha, bayangkan semua unit bisnis di RNI itu tidak ada korelasinya dan saya harus bisa mengatasi semua itu,” ia menjabarkan.

Pada saat proses dari komisaris menjadi calon Direktur Utama RNI dalam tahapan mengikuti wawancara dan fit and proper di kementrian BUMN tiba-tiba Dahlan Iskan dilantik sebagai Menteri BUMN. Takdir ternyata mempertemukan kembali ‘anak buah’ dan ‘bos’nya. Dulu, ketika jadi wartawan, Ismed adalah anak buah Dahlan Iskan. Berbilang tahun ketika ia keluar dari dunia wartawan ia kembali dipertemukan dengan Dahlan dengan posisi tidak berubah, Ismed sebagai Dirut RNI yang note bene adalah anak buah Dahlan yang Menteri BUMN. “Pesan yang saya ingin sampaikan adalah bahwa dalam hidup janganlah kita keluar dari suatu tempat tanpa tatap muka. Kita harus wise, sesakit apa pun, begitu kita meninggalkan tempat tampakkanlah muka kita dengan senyum, bersahabatlah, baiklah, tinggalkan kesan manis, mengapa? Karena kita tidak pernah tahu suatu saat dalam perjalanan hidup kita mungkin kita akan ke tempat itu lagi atau bahkan kita akan bertemu dengan orang yang kita pamit pada saat pergi itu, bisa terbayang tidak ketika saya sudah melanglang buana sekian puluh tahun di luar Jawa Pos, kalau saya keluar dari Jawa Pos tidak baik-baik dan Mas Dahlan menyimpan kesan yang tidak baik tentang saya, mungkin lain ceritanya,” ia mengingatkan.