Arief Yahya (Menteri Pariwisata RI) Sang Marketer di Pasar Wisata

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 29 June 2015

Ada satu cerita menarik yang disampaikan Arief saat jeda wawancara, yakni tentang tiga orang tukang batu. Tukang batu pertama mengaku bekerja karena mengharapkan upah. Jadi, kerjanya berdasarkan berapa ongkos yang ia dapat. Sementara tukang batu kedua, bekerja karena ia ingin mengimplementasikan ilmu yang ia dapat di sekolah. Kemudian tukang batu ketiga, bekerja karena ia ingin pekerjaannya itu bermanfaat bagi orang lain dalam hal ini perusahaan atau negaranya. “Semua alasan yang disampaikan ketiga tukang batu itu tidak ada yang salah. Tapi kedepannya, mereka akan memiliki mindset bekerja yang berbeda,” terangnya. Dimana yang satu akan berpikir untuk dirinya, yang kedua untuk ilmunya, dan yang ketiga untuk lingkungannya atau masyarakat. Mana yang terbaik? “Yang pasti, yang berpikir untuk orang lain dan lingkungannya maka dia adalah seorang yang berpikir mega,” ia menjelaskan lagi.


Lalu, apa yang menjadikan seorang Arief Yahya mampu melewati berbagai cobaan dan mampu mengukir prestasi dalam hidupnya? Bisa jadi karena ia adalah figur yang mengedepankan pemikiran mega (mega thinking), yang selalu mengorientasikan pekerjaannya pada kebutuhan yang lebih luas, dalam hal ini adalah bangsa dan negara.  Prinsip itu sudah ia tanamkan sejak memimpin PT Telkom. Waktu itu di Telkom ada semboyan “memberikan yang terbaik”. Sekarang, semangat itu ia coba tularkan di Kemenpar.  “Kita di Kemenpar harus memberikan yang terbaik kepada bangsa dan negara,” tuturnya.


Memberikan yang terbaik kepada bangsa dan negara dalam pandangan Arief adalah bagian dari sifat ihsan atau berbuat baik untuk sesama sebagai sebuah ibadah. “Saya yakin, siapapun dan dari agama apapun, jika ia bisa menjalani sifat ini dalam kerja dan kehidupannya maka akan menjadi seorang the great,” paparnya.  


Di sisi lain, sifat itu pula yang membuat ia semakin mencintai ibunya. Kenapa? “Karena seorang ibu adalah sosok yang selalu berpikir untuk anak dan keluarganya, tidak untuk dirinya sendiri,” tukasnya. Ia mengenang bagaimana ibunya begitu memberikan motivasi dan dukungan yang kuat kepada anak-anaknya untuk bisa menghadapi kehidupan ini. Dan kini sikap sang ibu ia turunkan kepada anak-anaknya. Begitu juga kepada sang istri, yang dalam pandangannya adalah orang yang dicintai oleh orang-orang yang ia cintai.


Seringkali untuk merenungi perjalanan hidupnya, Arief kerap melakukan hal-hal yang mungkin bagi orang lain cukup unik misalnya menuliskan kata-kata “jangan sombong” di handphone miliknya. “Saya itu setiap hari selalu menulis begitu di handphone saya, untuk mengingatkan diri saya,” ia tersenyum. Satu kebiasaan lainnya adalah, ia juga suka pergi sendiri mendaki gunung saat libur dan kemudian di puncak gunung ia pun duduk dan merenung hingga larut malam.