Laporan Khusus Jokowi-JK (Part 9): Wawancara Soetrisno Bachir - Oesman Sapta Odang

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 16 June 2014


Perjuangannya membela kaum petani belum usai. Melalui HKTI, lembaga yang didirikannya, ia terus berkomitmen untuk menjadikan produk pertanian semakin berkualitas. Sebagai negeri agraris, kekuatan ekonomi Indonesia sebenarnya terletak di pertanian. Sayangnya, potensi ini belum diberdayakan secara maksimal. “Kalau mau jujur, 60 persen perekonomian kita berpusat di pertanian. Harusnya ini yang digerakkan,” ungkapnya, dalam sebuah seminar di kawasan Tangerang Selatan.

Pembangunan ekonomi nasional berbasis pertanian untuk mewujudkan pembangunan yang pro job, pro poor, pro growth, dan pro environment, adalah komitmen yang selalu diusungnya. Karena itulah, HKTI terus concern agar cita-cita tersebut dapat termanifestasi dengan cepat.

Salah satu mandeg-nya pembangunan pertanian di Indonesia adalah karena kebijakan yang tidak pro petani. Maka tak aneh jika para petani kini identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan serba ketertinggalan. Salah satu kebijakan yang salah itu antara lain terkait impor daging. Saat ini impor daging di Indonesia jauh lebih besar dibanding dengan produksi sendiri.

Dengan 220 juta jiwa penduduk Indonesia, jika dipatok per orang per kapita membutuhkan makan daging 2 kilogram saja, maka kebutuhan daging nasional adalah 500 ribu ton per tahun. Sementara, yang terpenuhi di dalam negeri hanya 80 ribu ton. Sisanya yang 420 ribu ton harus melakukan impor. “Di Indonesia, hanya mampu produksi 80 ribu ton daging per tahun. Itu yang diberikan izin oleh pihak yang terkait. Sisanya yang jauh lebih besar, kita harus tetap impor. Nah, dengan kondisi demikian, bagaimana harga daging tidak selangit?” sebutnya.

Dalam hal ini, ia memiliki solusi brilian. Menurutnya, Indonesia bisa saja swasembada daging dalam waktu 5 tahun. Caranya sederhana, cukup meluangkan Rp 5000 dalam setiap 1 kilogram daging yang dibeli untuk peternakan dan pembibitan sapi. Dalam setahun, maka total kita telah bisa memiliki 150 ribu ekor sapi. Itu dalam setahun, bagaimana dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya? Karena itulah, dalam durasi lima tahun, swasembada daging bukan hal yang sulit untuk dicapai.

Kita bukan hanya menjadi negara importir daging. Komoditi lainnya seperti buah-buahan, yang seharusnya kita bisa produksi sendiri, juga turut melakukan impor. Jeruk misalnya, kita masih terus bergantung pada impor. Padahal, ketika Oesman Sapta menjadi Ketua Asosiasi Perdagangan Jeruk di wilayah Kalimantan Barat, Indonesia berhasil menyetop impor jeruk. Dengan produksi hingga 200 ribu ton jeruk, maka kebutuhan jeruk nasional bisa dipenuhi. Sayang, ketika ia lengser, impor jeruk kembali terjadi.

Bagi Oesman Sapta, impor bukanlah sesuatu yang haram. Impor tetap harus. Namun, sebisa mungkin berada dalam posisi yang paling minimal. Menurutnya, mencapai swasembada dan ketahanan pangan adalah sesuatu yang sangat urgen. Kini, kiprah HKTI sudah tak bisa dibantah lagi terutama dalam memperjuangkan para petani untuk memperoleh bibit, pupuk, dan sarana lainnya seperti kredit. Perlindungan dan pemberdayaan petani menjadi pokok perjuangan HKTI kini dan di masa depan. Choen