DR. H. Awang Faroek Ishak (Gubernur Kaltim), Otsus Kaltim untuk Indonesia

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 12 January 2015
Kuatnya desakan seluruh eksponen masyarakat Kaltim agar pemerintah pusat memberikan otonomi khusus kepada provinsi, ini merupakan keinginan yang logis. Tidak mengada-ada. Ini adalah persoalan bagaimana daerah mendapatkan keadilan dari pemerintah pusat. Tidak ada kaitannya dengan politik dan segala macam dugaan sumir lainnya. Ini berawal dari kegundahan dan kegelisahan rakyat Kaltim yang merasa memiliki daerah dengan kekayaan migas yang luar biasa, tapi pembangunan seperti jalan di tempat. Tidak dirasakan oleh mereka. Kaltim menjadi provinsi yang mengalami growth without development: pertumbuhan ekonomi daerah memang terjadi, tetapi pembangunan tak dinikmati sebagian besar rakyat. “Lalu, kemana hasil kekayaan migas kami?” mungkin begitu tanya mereka.

Wajar rakyat Kaltim bertanya demikian. Karena Kaltim sebagai daerah penghasil minyak dan gas alam hanya mendapatkan porsi bagi hasil minyak 15,5 persen dan gas 30,5 persen, sementara Provinsi Aceh dan Papua menikmati bagi hasil migas 70 persen. Sekadar catatan, produksi minyak yang disedot dari Kaltim mencapai 21 juta barrel per tahun. Kaltim juga penghasil tidak kurang dari 120 juta ton batubara, 14 juta ton gas, dan 3 juta meter kubik kayu.

Mengutip Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman, Burnaulus Saragih, transfer benefit dari SDA Kaltim lebih banyak disedot keluar karena Kaltim hanya menerima rata-rata Rp 7 triliun dari Rp 100 triliun-Rp 120 triliun yang ditransfer ke pusat dari SDA Kaltim. Sementara, pemerintah pusat tak memperhatikan komponen biaya eksternalitas akibat eksploitasi SDA yang mencapai Rp 9,23 triliun per tahun, yang mesti menjadi faktor pembagi dalam perimbangan keuangan.

Sehingga, total nilai kerugian per tahun yang timbul karena deplesi sumber daya hutan, degradasi sumber daya hutan, pengeruhan sumber air minum, kerusakan lahan/disfungsi, emisi karbon/pencemaran udara dari industri minyak dan gas, tambang batubara, serta kehutanan diestimasi mencapai Rp 9,23 triliun.