Men's Obsession Award 2013: The Rising Stars & The Amazing Stars
Naskah : Usamah Hisyam Foto : Istimewa/Dok.MO
Namanaya lama tak terdengar. Sejak memasuki masa pensiun dan menanggalkan jabatan Panglima TNI pada 28 September 2010, nama Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso seakan-akan lenyap dari hiruk pikuk pentas politik nasional. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga di rumah, serta mengurusi PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) hingga mengakhiri masa jabatan sebagai Ketua Umum PBSI, November 2012 lalu. Djoko sama sekali tak lagi terlibat dalam dinamika politik yang marak menampilkan kandidat calon presiden.
Padahal, pria kelahiran Solo, 8 September 1952, ini, di kalangan purnawirawan maupun perwira menengah dan perwira tinggi TNI, kerap disebut-sebut sebagai salah seorang purnawirawan TNI yang pantas diusung menjadi calon presiden.
Selain usianya baru memasuki 60 tahun, sosoknya yang sederhana dan berwibawa, Djoko dinilai sebagai pemimpin yang mumpuni (mengayomi dan diterima semua golongan masyarakat), serta memiliki track record pengabdian dan kepemimpinan yang meyakinkan selama berkarier di militer.
Ia pun prototipe pemimpin yang mencerminkan karakter dan kultur Jawa. Perpaduan pengalamannya sebagai komandan pasukan tempur serta komando teritorial dan sosial politik, membawa Djoko menjadi salah satu perwira tinggi militer yang paham tentang nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), dan tak alergi terhadap sistem demokrasi. Ketegasan dan kepemimpinannya dalam wilayah konflik sangat teruji.
Ketika memimpin Komando Operasi Pemulihan dan Keamanan (Koopslihan) di Maluku, tahun 2002-2003, sekaligus menjabat Panglima Kodam XVI Pattimura, mantan Panglima Divisi II Kostrad (Malang), ini, dikenal sangat persuasif dan lebih menonjolkan nilai-nilai HAM dalam mengatasi konflik. Mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, misalnya, memuji mantan Wakil Asisten Sosial Politik (Waassospol) Mabes TNI, ini, karena lebih mengedepankan dialog dan pendekatan prosperity dalam mencari solusi atas konflik horizontal di Maluku. “Dia itu bertangan dingin.
Yang semula kita nilai tidak mungkin dipersatukan, di tangan Djoko bisa bersatu. Misalnya, aparat keamanan dan PNS yang berada dalam satu kantor yang berbeda agama yang semula terpecah, bisa dipersatukan kembali. Dia paham betul penyelesaian masalah tanpa kekerasan.
Dia menempuh cara-cara sosial, kesejahteraan, dan pendekatan pembangunan, sehingga bisa diterima masyarakat,” puji Bachtiar Chamsyah, yang Kementeriannya banyak memberikan dukungan logistik untuk mendukung operasi pemulihan dan keamanan Maluku yang dilakukan Djoko Santoso.

Padahal, pria kelahiran Solo, 8 September 1952, ini, di kalangan purnawirawan maupun perwira menengah dan perwira tinggi TNI, kerap disebut-sebut sebagai salah seorang purnawirawan TNI yang pantas diusung menjadi calon presiden.
Selain usianya baru memasuki 60 tahun, sosoknya yang sederhana dan berwibawa, Djoko dinilai sebagai pemimpin yang mumpuni (mengayomi dan diterima semua golongan masyarakat), serta memiliki track record pengabdian dan kepemimpinan yang meyakinkan selama berkarier di militer.
Ia pun prototipe pemimpin yang mencerminkan karakter dan kultur Jawa. Perpaduan pengalamannya sebagai komandan pasukan tempur serta komando teritorial dan sosial politik, membawa Djoko menjadi salah satu perwira tinggi militer yang paham tentang nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), dan tak alergi terhadap sistem demokrasi. Ketegasan dan kepemimpinannya dalam wilayah konflik sangat teruji.
Ketika memimpin Komando Operasi Pemulihan dan Keamanan (Koopslihan) di Maluku, tahun 2002-2003, sekaligus menjabat Panglima Kodam XVI Pattimura, mantan Panglima Divisi II Kostrad (Malang), ini, dikenal sangat persuasif dan lebih menonjolkan nilai-nilai HAM dalam mengatasi konflik. Mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, misalnya, memuji mantan Wakil Asisten Sosial Politik (Waassospol) Mabes TNI, ini, karena lebih mengedepankan dialog dan pendekatan prosperity dalam mencari solusi atas konflik horizontal di Maluku. “Dia itu bertangan dingin.
Yang semula kita nilai tidak mungkin dipersatukan, di tangan Djoko bisa bersatu. Misalnya, aparat keamanan dan PNS yang berada dalam satu kantor yang berbeda agama yang semula terpecah, bisa dipersatukan kembali. Dia paham betul penyelesaian masalah tanpa kekerasan.
Dia menempuh cara-cara sosial, kesejahteraan, dan pendekatan pembangunan, sehingga bisa diterima masyarakat,” puji Bachtiar Chamsyah, yang Kementeriannya banyak memberikan dukungan logistik untuk mendukung operasi pemulihan dan keamanan Maluku yang dilakukan Djoko Santoso.